Type Here to Get Search Results !

 


TAFSIR AL-BAQARAH 1-7


الٓمٓ ١

Terjemah Arti: Alif laam miim. 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

Huruf-huruf ini dan huruf-huruf lainnya dari huruf-huruf yang terputus di awal-awal sejumlah surat Alquran, di dalamnya terkandung isyarat atas kemukjizatan Alquran. Maka sungguh telah terjadi tantangan dengannya terhadap orang-orang musyrik dan terbukti mereka tidak mampu untuk membantahnya, padahal huruf-huruf tersebut merupakan komponen tersusunnya bahasa Arab. Karena itu ketidakmampuan bangsa Arab untuk mendatangkan yang semisal dengan Alquran (Padahal mereka adalah manusia yang paling fasih berbahasa Arab) menunjukkan bahwa Alquran adalah wahyu dari Allah 

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) 

1. Alif Lām Mīm. 

Ini merupakan huruf-huruf yang digunakan sebagai pembuka beberapa surah Al-Qur`ān. Ini adalah huruf hijaiah yang tidak mempunyai makna pada dirinya karena dituliskan terpisah seperti: alif, ba, ta dan seterusnya. Dalam huruf-huruf itu terdapat hikmah dan tujuan, karena tidak ada sesuatupun di dalam Al-Qur`ān yang tidak memiliki hikmah. Di antara hikmahnya yang paling menonjol ialah mengisyaratkan tantangan untuk membuat Al-Qur`ān yang terdiri dari huruf-huruf yang membentuk kata-kata yang mereka ketahui dan mereka gunakan untuk berbicara. Oleh karena itu, pada umumnya huruf-huruf hijaiah tersebut diikuti dengan penyebutan tentang Al-Qur`ān Al-Karīm, seperti yang ada di dalam surah ini. 

Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah 1-5. 

Huruf-huruf hija'iyah muqottho'ah yang menunjukkan mukjizat bayani ini merupakan bagian dari al-Qur'an yang diturunkan yang merupakan kitab yang tidak mengandung hal yang meragukan di dalamnya. Meski orang-orang yang ingkar dan musyrik berusaha sekuat mungkin namun mereka tidak akan mampu memahami keberkahannya dan tidak akan bisa merasakan keindahannya. Adapun orang-orang yang menjauhi perbuatan jahat dan haram, maka mereka adalah orang-orang yang mengaharap hidayah dari al-Qur'an dengan mengimani, mengagungkan, dan mengamalkannya; merekalah orang-orang yang memiliki sifat yang mulia, mengimani keagungan Sang Pencipta dan hari akhir, menjaga sholat mereka dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, menginfakkan harta mereka kepada orang-orang yang berhak dan membutuhkan, membenarkan al-Qur'an yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad dan kitab-kitab serta suhuf-suhuf yang diturunkan kepada para nabi dan rasul, serta mengimani hari akhir beserta kejadian-kejadiannya seperti perhitungan dan pembalasan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi yang berhak mendapat kenikmatan yang kekal dan pahala yang besar. Zubdatut 

Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 

1. الم Imam al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya: sesungguhnya huruf-huruf yang ada diawal-awal surat adalah rahasia Allah yang ada dalam al-Qur’an. Dan beliau juga berkata: sekelompok ulama berkata: kita menyukai untuk berbicara dalam hal ini, untuk mengeluarkan faidah-faidah yang dikandung dan makna-makna yang ada didalamnya. Dan mereka berbeda pendapat mengenai masalah ini; sebagian berpendapat bahwa huruf-huruf ini adalah isyarat yang merujuk pada huruf-huruf hijaiyyah yang Allah Ta’ala kabarkan kepada orang-orang Arab yang menantang untuk menandingi al-Qur’an yang tersusun dari huruf-huruf yang merupakan dasar dari bahasa mereka. Hal ini ditujukan agar menjadi bukti yang lebih jelas akan kelemahan mereka untuk menandingi al-Qur’an padahal al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa mereka. 

2. ذَٰلِكَ الْكِتَابُ yakni al-Qur’an ini yang tinggi derajatnya لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ tidak ada keraguan bahwa ia datang Allah Ta’ala هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (sebagai hidayah bagi orang-orang yang bertaqwa). Makna dari (الهدى) adalah dalil yang mengantarkan pada tujuan. Pendapat dari Ibnu Abbas dalam kalimat (هدى للمتقين): yakni orang-orang yang takut pada hukuman dari Allah karena meninggalkan hidayah yang mereka ketahui dan mengharapkan rahmat-Nya dengan meyakini apa yang datang dari-Nya. Dari Abu Hurairah disebutkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepadanya: apa itu taqwa? Dia pun menjawab: apakah kamu pernah berjalan di jalan yang berduri? Lelaki itu menjawab: Pernah. Abu Hurairah membalasnya: Lalu apa yang kau lakukan ketika itu?. Dia menjawab: jika aku melihat duri aku berbelok, memanjangkan langkahku agar melewatinya, atau memendekkan langkah agar tidak mengenainya. Abu Hurairah berkata: maka demikianlah takwa. 

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah 

Alif Lam Mim: Susunan huruf ini dan susunan lain yang serupa merupakan susunan huruf yang diletakkan di permulaan surah. (Itu) didatangkan sebagai penjelas tentang kesempurnaan Al-Qur’an dan mengukuhkannya sebagai Kalam Allah, dan untuk menantang bangsa Arab untuk mendatangkan kitab yang serupa atau sesuatu yang serupa dengan surah paling pendek darinya. Dan sebagai penjelasan tentang kelemahan dan ketidakmampuan mereka dan sebagai pemberitahuan bahwa Al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf Arab yang selalu mereka ucapkan dan mereka susun perkataan mereka menggunakan (huruf) itu.

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi 

Telah disebutkan tentang pendapat-pendapat yang menyebutkan tentang huruf muqtha’ah di awal-awal surat, dan yang paling utama terdapat penyebutan dua pendapat : 

Pendapat pertama : Bahwasanya Al-Qur’an ini adalah kalamullah (firman Allah), dan kalamullah terdiri dari huruf-huruf arab. 

Pendapat kedua : Wallahu ‘alam akan maksud dari huruf muqatha’ah tersebut, di mana berkata para ulama : Sesungguhnya pada setiap kitab terdapat rahasia, dan huruf tersebut adalah rahasia dari Al-Qur’an. Ucapan ini telah dinisbatkan kepada Abu Bakr As-Shiddiq dan jumhur ulama yang di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir dan Zamakhsyari memilih pendapat yang pertama karena disebutkannya huruf tersebut karena menunjukkan Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab yang tersusun dari beberapa huruf ini (ا,ب,ت,ث ...) hingga akhir. Dan maksudnya adalah memberikan kabar sekaligus tantangan bagi mereka yang menolak Al-Qur’an, atau bagi mereka yang ragu bahwasanya Al-Qur’an datang dari sisi Allah yang maha Perkasa yang tak mungkin jin dan manusia mampu mendatangkan yang semisal dengannya. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini. Huruf muqatha’ah di awal-awal surat mengandung makna: Firman Allah yang rahasia lagi kokoh yang terpenggal-penggal. 

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 

1. Huruf-huruf yang terpenggal-penggal di setiap awal surat, lebiah baik membiarkannya dan tidak mencoba-coba mencari makna-maknanya tanpa ada sandaran yang syar’I, dan diiringi dengan keyakinan yang kuat bahwasanya Allah ta’ala tidak menurunkannya dengan sia-sia, akan tetapi menyimpan hikmah yang tidak kita ketahui. 

Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi 

Aliif Laam Miim termasuk huruf muqottho’ah yang tertulis الم dan dibaca “Aliif Laam Miim”. Surah yang dimulai dengan huruf muqottho’ah ada 29 surah, yang pertama adalah Al-Baqarah dan yang terakhir adalah Al-Qolam (Nun) di antaranya adalah surah dengan satu huruf semisal Shad, Qof, dan Nun, dan surah dengan dua huruf semisal Thoha, Yasin, Hamim, juga surah dengan tiga huruf, empat huruf, dan lima huruf. Tidak ada yang benar-benar jelas penafsiran yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan termasuk dalam golongan mutasyabbihah yang disembunyikan ilmunya oleh Allah. 

Inilah penafsiran yang benar. Oleh karena itu dikatakan Aliif Laam Miim, Allah yang Maha Tahu akan maksudnya. Beberapa ulama menyimpulkan ada dua faidah dari huruf-huruf muqottho’ah. 

Pertama bahwasanya kaum musyrikin saat itu tidak mau mendengarkan al-Qur’an karena takut akan membekas dalam jiwa pendengarnya. Maka pengucapan huruf huruf muqottho’ah seperti Haamiim, Thoosiin, Qoof, Kaafhaya’aiinshood yang asing bagi mereka, dapat menggugah mereka untuk mendengarkan al-Qur’an sehingga mereka mau mendengar, terpengaruh dengan Al-Qur’an dan bersegera menuju keimanan. Cukuplah hal ini sebagai faidah. 

Kedua, pada saat kaum musyrikin mengingkari bahwa al-Qur’an adalah kalamullah maka Allah menurunkan wahyu kepada rasulNya. Huruf-huruf ini seakan menjadi penantang bagi kaum musyrikin. Seakan huruf itu berkata : “Sesungguhnya Al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf seperti ini, maka buatlah yang semisal dengannya. Faidah ini dikuatkan dengan penyebutan kata ganti orang ketiga (ghaib) setelah huruf muqottho’ah seperti : 

(الٓمٓ ١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ) الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ)) طس تِلْكَ آيَاتُ الْقُرْآنِ)) 

Seakan huruf itu mengatakan, dari susunan huruf-huruf inilah al-Qur’an terbentuk, maka buatlah yang serupa dengan al-Qur’an. Kalau kalian tidak mampu maka terimalah bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah dan wahyuNya, berimanlah dengannya maka kalian akan beruntung. 

Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir / Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri et. al.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (الم) 

SEPUTAR HURUF MUQOTH-THO’AH (PENGGALAN HURUF-HURUF DI AWAL SURAT) 

Penggalan huruf-huruf yang ada di awal beberapa surat adalah huruf-huruf yang hanya Allah saja yang mengetahui maknanya. 

Pendapat seperti ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibu Mas’ud ra. Ada yang mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah nama-nama surat. Ada yang mengatakan bahwa (huruf-huruf) itu adalah pembuka yang dengannya Allah membuka Al-Quran. Khashif meriwayatkan dari Mujahid ia berkata: “Pembuka surat-surat Al-Quran seluruhnya adalah (ق, ص, حم, طسم, dan الر) dan huruf-huruf hijaiyyah lainnya.” Sebagian ahli bahasa Arab berkata: “Ia adalah huruf-huruf mu’jam (kamus). Allah mencukupkan menyebutkan sebagiannya saja dan tidak menyebutkan selebihnya yang seluruhnya berjumlah 28 huruf, sebagaimana seseorang mengatakan: ‘Anakku dapat menulis huruf أ, ب, ت, ث ...” artinya, anak tersebut bisa menulis 28 huruf-huruf hijaiyyah, hanya saja menyebutkannya sebagian saja.” Demikian yang diceritakan oleh Ibnu Jarir. 

Saya (Ibnu Katsir) katakan bahwa jumlah keseluruhan huruf-huruf yang disebutkan di awal surat dengan tidak menghitung huruf yang disebutkan lebih dari satu kali adalah 14 huruf, yaitu: ا، ل، م، ص، ر، ك، ه، ي، ع، ط، س، ح ، ق، ن. Semua huruf itu dapat dikumpulkan dalam sebuah kalimat: نَصٌّ حَكِيْمٌ قَاطِعٌ لَهُ سِرٌّ Jumlahnya adalah setengah dari total keseluruhan. Yang disebutkan lebih mulia daripada yang tidak disebutkan. Penjelasan lebih lanjut merupakan spesialisasi ilmu sharaf. 

Az-Zamakhsyari mengatakan: “Huruf-huruf yang berjumlah 14 ini merangkum semua jenis huruf. Yaitu dari huruf mahmuusah sampai majhuurah, dari rakhwah sampai syadiidah, dari muthabbaqah sampai maftuuhah, dari musta’liyah sampai munkhafidhah, dan huruf qalqalah.” Kemudian ia menyebutkan secara terperinci, lalu ia berkata: “Maha suci Allah yang sangat dalam hikmah-Nya dalam segala hal. Jenis huruf-huruf yang disebutkan ini adalah huruf-huruf yang sangat banyak digunakan. Dan telah engkau ketahui sebelumnya bahwa jumlah mayoritas dapat disamakan kedudukannya dengan jumlah keseluruhannya.” Dari sini, sebagian ulama memberi penjelasan sebagai berikut: “Tidak ragu lagi, bahwa Allah menurunkan huruf-huruf tersebut tidaklah sia-sia atau percuma begitu saja. Oleh karena itulah sebagian orang jahil berkata: “Sesungguhnya di dalam Al-Quran terdapat kata-kata yang hanya untuk dibaca saja sebagai ibadah, sementara ia tidak memiliki makna sama sekali.” Sungguh anggapan mereka ini sangat keliru. Jelaslah bahwa huruf-huruf ini memiliki makna tersendiri. Kalaulah ada sebuah penjelasan dari Al-Ma’shum saw tentu kita akan menjelaskannya berdasarkan keterangan tersebut. Jika tidak ada maka kita menahan diri darinya. Dan kita katakan: “Kami mengimaninya, seluruhnya berasal dari Allah swt.” 

Para ulama tidak bersepakat dalam menafsirkan huruf-huruf tersebut. Bahkan mereka berselisih pendapat. Jika nyata baginya bahwa sebagian pendapat memiliki dalil, maka hendaklah ia mengikutinya. Jika tidak, maka hendaklah ia menahan diri, sehingga kebenaran menjadi jelas baginya. Ini dilihat dari satu sisi. 

PENGGALAN HURUF-HURUF TERSEBUT MENUNJUKKAN MUKJIZAT AL-QURAN 

Dilihat dari sini lain tentang hikmah disebutkannya huruf-huruf hijaiyyah di awal-awal surat ini, terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya, dikatakan bahwa penggalan huruf-huruf yang disebutkan di awal-awal surat dimaksudkan untuk menunjukkan mukjizat AL-Quran dan menjelaskan bahwa makhluk tidak bisa membuat tandingannya. Padahal ia hanyalah rangkaiandari penggalan huruf-huruf yang biasa mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Madzhab ini telah disampaikan oleh Ar-Razi dalam tafsirnya dari Al-Mubarrid dan sejumlah ahli tahqiq. 

Al-Qurthubi menghikayatkan dari Al-Farra’ dan Qathrab yang semakna dengan madzhab di atas. Dan pendapat ini didukung oleh Az-Zamakhsyari dalam kitab Al-Kasysyaafnya dan ia mendukung penuh pendapat ini. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan guru kami AL-Hafizh AL-Mujtahid Abul Hajjaj Al-Mizzi. Ia menceritakan kepadaku dari Ibnu Taimiyyah. 

Az-Zamakhsyari mengatakan, “Huruf-huruf tersebut tidak disebutkan keselruruhannya di awal Al-Quran. Namun penyebutannya diulang-ulang untuk menguatkan tantangan dan ketidakmampuan manusia menyainginya. Sebagaimana halnya beberapa kisah yang penyebutannya diulang-ulang. Dan telah diulang-ulang juga tantangan dari Allah secara terang-terangan dalam banyak ayat. Ia melanjutkan: “Ada yang disebutkan satu huruf saja, seperti ص، ن، ق . Ada yang disebutkan dua huruf, seperti حم . Ada yang disebutkan tiga huruf, seperti الم. Ada yang empat huruf, seperti المر dan المص. Ada yang lima huruf, seperti كهيص dan حم عسق. Karena demikianlah uslub (metode) bahasa Arab dalam pembentukan kalimat. Ada yang satu huruf, ada yang dua huruf, ada yang tiga huruf, ada yang empat huruf dan ada yang lima huruf, tidak ada yang lebih dari itu.” (Saya katakan) oleh karena itu setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf ini pasti disebutkan di dalamnya kemenangan Al-Quran dan penjelasan tentang kehebatan dan kebesarannya. Hal itu dapat diketahui melalui penelitian. Itulah yang ditemui dalam 29 surat. Oleh karena itu Allah berfirman: 

(الم. ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ) 

“Alif laam miim. Allah (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya.” (QS. Al-Baqarah:2) 

الم . اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ . نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ 

“Alif Laam miim. Allah, tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya serta membenarkan Kitab yang telah diturunkan sebelumnya.” (QS. Ali ‘Imran:1-3) 

المص. كِتَابٌ أُنْزِلَ إِلَيْكَ فَلَا يَكُنْ فِي صَدْرِكَ حَرَجٌ 

“Alif laam mim shaad. Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya.” (QS. Al-Araf:1-2)

الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ 

“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka.” (QS. Ibrahim:1) 

الم. تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ 

“Alif Laam Miim. Turunnya Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam.” (QS. As-Sajdah:1-2) 

حم. تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ 

“Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat:1-2) 

حم. عسق. كَذَٰلِكَ يُوحِي إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ اللَّهُ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ 

“Haa Miim. 'Ain Siin Qaaf. Demikianlah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, mewahyukan kepada kamu dan kepada orang-orang sebelum kamu.” (QS. Asy-Syuraa:1-3) 

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan kebenaran pendapat para ulama tersebut bagi siapa saja yang mau menelitinya, Wallahua’lam. 

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I 

Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: Alif laam miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. Di antara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, atau untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al Quran itu. 

Syaikh As Sa'diy berpendapat bahwa yang lebih selamat adalah diam tidak mencari-cari maksudnya, yang pasti Allah Ta'ala tidaklah menurunkan begitu saja tanpa ada hikmah di balik itu hanya saja kita tidak mengetahui. Wallahu a'lam. 

Imam Al Qurthubi berkata, "Para ahli tafsir berselisih tentang huruf-huruf yang berada di awal-awal surat. Amir Asy Sya'biy, Sufyan Ats Tsauriy dan jama'ah ahli hadits berkata, "Ia adalah rahasia Allah dalam Al Qur'an, dan Allah memiliki rahasia di setiap kitab-Nya, ia termasuk ayat-ayat mutasyabihat yang hanya Allah saja mengetahuinya, ia tidak mesti dibicarakan, akan tetapi kita mengimaninya dan membacanya sebagaimana telah datang (disebutkan)." 

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI 

Alif laam miim. 

Beberapa surah dalam Al-Qur'an dibuka dengan huruf abjad seperti alif laam miim, alif laam raa', dan sebagainya. Makna huruf-huruf itu hanya Allah yang tahu. Ada yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu adalah nama surah dan ada pula yang berpendapat bahwa gunanya untuk menarik perhatian, atau untuk menunjukkan mukjizat Al-Qur'an, karena Al-Qur'an disusun dari rangkaian huruf-huruf abjad yang digunakan dalam bahasa bangsa arab sendiri. Meskipun demikian, mereka tidak pernah mampu untuk membuat rangkaian huruf-huruf itu menjadi seperti Al-Qur'an. 

Inilah kitab yang sempurna dan penuh keagungan, yaitu Al-Qur'an yang kami turunkan kepada nabi Muhammad, tidak ada keraguan padanya tentang kebenaran apa-apa yang terkandung di dalamnya, dan orang-orang yang berakal sehat tidak akan dihinggapi keraguan bahwa Al-Qur'an berasal dari Allah karena sangat jelas kebenarannya. Al-Qur'an juga menjadi petunjuk yang sempurna bagi mereka yang mempersiapkan diri untuk menerima kebenaran dengan bertakwa, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya agar terhindar dari siksa Allah. Meski petunjuk Al-Qur'an diperuntukkan bagi seluruh umat manusia, hanya orang-orang bertakwa saja yang siap dan mampu mengambil manfaat darinya. 

Tafsir Tematis / Team Asatidz TafsirWeb 

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna dari huruf-huruf yang terdapat pada awal beberapa surat dalam Alquran. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa itu merupakan huruf-huruf yang hanya Allah sendiri yang mengetahui maknanya. Maka mereka mengembalikan ilmu mengenai hal itu kepada Allah dengan tidak menafsirkan-Nya. Pendapat ini dinukil al-Qurtubi dalam tafsirnya dari Abu Bakar, Umar, usman, ‘Ali dan Ibnu Mas’ud rhodiallohu ‘anhum. Begitu juga pendapat ‘Amir As-Sya’bi dan Sufyan As-Sauri dan Robi’ Bin Khutsaim yang dipilih juga oleh Abu Hatim bin Hiban. Diantara ahli tafsir juga ada yang menafsirkannya, dan mereka berbeda pendapat tentang maknanya. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata : “sesungguhmya huruf-huruf ini merupakan nama-nama surat dalam Al-Quran”. Abu al-Qosim Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari menyatakan dalam tafsirnya bahwa hal itu menjadi kesepakatan banyak ulama, beliau juga menukil dari Sibawaih menegaskan dan memperkuat hal itu. Berdasarkan hadits dalam kitab shohih al-Bukhori dan Muslim dari Abu hurairoh bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam pernah membaca Alif laam mim as-Sajdah (Surat as-Sajdah) dan hal ata ‘alal insan (Surat al-insan) pada sholat subuh pada hari jum’at.

Sufyan As-Sauri berkata dari Mujahid bahwasanya dia berkata: " الم " " حم " " المص " " ص " merupakan pembuka yang Allah ta’ala buka dengannya Al-Quran. Mujahid juga berkata dari riwayat Abu Huzaifah Musa bin Mas’ud dari Syubl dari Ibnu Abu Najih darinya bahwasanya dia berkata " الم " adalah nama dari nama-nama Al-Quran. As-Sya’bi berkata, “pembuka-pembuka surat adalah dari nama-nama Allah ta’ala. Begitu juga perkataan Salim bin Abdillah, Ismail bin Abdurahman Assadi al-Kabir, telah berkata Syu’bah dai As-sadi, telah sampai kepadaku bahwa Ibnu Abbas telah berkata: " الم " adalah salah satu nama dari nama-nama Allah yang agung. Begitu juga riwayat Ibnu Abi Hatim dari hadits Syu’bah. Banyak sekali pendapat-pendapat mengenai makna dari huruf huruf ini, dianatara mufasir ada juga memaknai sebagai sumpah yang Allah jadikan dalam Al-Quran. Hal ini seperti pendapat Al-Kalbi. Ada juga sebagian mufasir yang Mengatakan bahwa makna huruf-huruf ini adalah sebagai berikut : “alif bermakna Allah, lam bermakna Jibril dan mim bermakna Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Wallohu a’lam bishowab akan makna sebenarnya dari makna ayat ini. Kerena menurut jumhur para mufasir ayat ini merupakan salah satu ayat mutsyabihat yang tidak ada yang tahu makna sebenarnya kecuali Allah ta’ala. 

Para ulama akhirnya mengambil kesimpulan dari makna ayat ini dengan mengatakan bahwa “tidak diragukan lagi bahwa huruf-huruf ini tidak diturunkan Allah ta’ala dengan sia-sia dan tanpa makna. Orang yang tidak tahu mengatakan bahwa “di dalam Al-Quran terdapat suatu hal yang tidak memiliki makna sama sekali”, ini merupakan kesalahan besar. Karena ternyata sesuatu yang dimaksud itu pada hakikatnya memiliki makna, jika kami menerima riwayat yang shohih dari nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam maka kami akan menerimanya, dan jikaa tidak, maka kami akan menyerahkan maknanya kepada Allah ta’ala seraya berucap; 

آمنا به كل من عند ربنا 

“Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari sisi Rabb kami” (QS. Ali Imron: 7) 

Maka Maqom Para ulama ahli tafsir belum mendapati kesepakatan mengenai huruf-huruf tersebut, dan mereka masih berbeda pendapat. Dan jika telah jelas bagi sebagian pendapat dengan dalil yang shohih, maka yang lain harus mengikuti pendapat tersebut. Sabagian ulama yang lain mengatakan bahwa huruf-huruf ini menunjukan keistimewaan gaya Bahasa Alquran dan keagungannya yang tidak ada pada kitab-kitab sebelumnya. Makanya dalam beberapa surat yang diawali dengan huruf-huruf ini selalu menyertainya dengan ayat yang menyebutkan penjelasan tentang Alquran.


Quran Surat Al-Baqarah Ayat 2 

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ 

Arab-Latin: żālikal-kitābu lā raiba fīh, hudal lil-muttaqīn 

Terjemah Arti: Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

Alquran itu adalah kitab yang agung yang tidak ada keraguan bahwasanya ia datang dari sisi Allah, maka tidak benar bila ada seseorang yang ragu-ragu terhadap nya karena begitu jelasnya alquran itu. Dimana orang-orang yang bertaqwa dapat mengambil manfaat dengannya berupa ilmu yang bermanfaat dan amal sholeh dan mereka itu adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan mengikuti hukum-hukum-Nya. 

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) 

2. Al-Qur`ān yang agung itu tidak ada keraguan di dalamnya, baik dari segi proses turunya maupun lafal dan maknanya. Al-Qur`ān adalah firman Allah yang membimbing orang-orang bertakwa ke jalan yang menghantarkan mereka kepada-Nya. 

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 

2. ذَٰلِكَ الْكِتَابُ yakni al-Qur’an ini yang tinggi derajatnya لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ tidak ada keraguan bahwa ia datang dari Allah Ta’ala هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (sebagai hidayah bagi orang-orang yang bertaqwa). Makna dari (الهدى) adalah dalil yang mengantarkan pada tujuan. Pendapat dari Ibnu Abbas dalam kalimat (هدى للمتقين): yakni orang-orang yang takut pada hukuman dari Allah karena meninggalkan hidayah yang mereka ketahui dan mengharapkan rahmat-Nya dengan meyakini apa yang datang dari-Nya. 

Dari Abu Hurairah disebutkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepadanya: apa itu taqwa? Dia pun menjawab: apakah kamu pernah berjalan di jalan yang berduri? Lelaki itu menjawab: Pernah. Abu Hurairah membalasnya: Lalu apa yang kau lakukan ketika itu?. Dia menjawab: jika aku melihat duri aku berbelok, memanjangkan langkahku agar melewatinya, atau memendekkan langkah agar tidak mengenainya. Abu Hurairah berkata: maka demikianlah takwa. 

Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas Qashim - Saudi Arabia 

1 ). Tatkala seorang hamba berucap dengan taufiq Tuhannya : { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ }, dikatakan kepadanya : { ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ } itulah permintaanmu, yang dialamnya segala keperluan dan kebutuhanmu tertulis, itulah jalan yang lurus bagimu : { هُدًى لِلْمُتَّقِينَ } petunjuk bagi orang-orang bertaqwa yang berkata : { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ } , dan mereka takut dari keadaan orang-orang yang dimurkai dan tersesat. 

2 ). Sesungguhnya hanya orang yang mau menerima hidayah lah yang akan mendapatkan hidayah itu, dan mereka adalah orang yang bertaqwa tidak bagi semua orang. 

3 ). Sebagaimana halnya al-Qur'an adalah sebaik-baiknya ucapan baik derajat ataupun makna, maka tempat yang tepat untuknya adalah tempat yang suci dan terang ( dan dalam hal ini adalah hati orang-orang yang bertaqwa ), oleh karena itu Allah berfirman : { هُدًى لِلْمُتَّقِينَ } kemudian disebutkan dalil kepastiannya, yaitu bahwasanya para muttaqien { بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ } ; maka sesungguhnya perkara ini adalah hasil dari sikap optimis hati terhadap petunjuk al-Qur'an dan ketaqwaan manusia. 

4 ). Jika hati senantiasa dihidupkan dengan taqwa seorang hamba akan mengambil lebih banyak dari al-Qur'an, seperti halnya dengan hujan yang turun dari langit, jika mendapatkan tanah yang baik, akan datang musim semi yang menakjubkan semua mata, tidakkah kamu membaca hakikat kebenaran ini pada ayat yang ada di awal al-Qur'an ? perhatikanlah : { هُدًى لِلْمُتَّقِينَ }; dengan ini akan terungkap sebab banyaknya manusia yang tidak mengambil manfaat dari al-Qur'an. 

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah 

Inilah Al-Qur’an yang agung, yang tidak diragukan lagi bahwa itu (diturunkan) dari sisi Allah SWT. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah petunjuk dan pembimbing menuju kebaikan. Al-Qur’an membimbing orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan mereka dengan menaati printah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya dan meninggalkan kemaksiatan, kemudian mereka mengambil manfaat darinya. Itu adalah tiga gambaran tentang Al-Qur’an 

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi 

Allah mengabarkan bahwa Al-Qur’an ini tiada keraguan dan kebimbangan padanya, Allah telah menurunkan hidayah bagi mereka yang bertaqwa yang mereka bersegera mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan firman-Nya dzalika adalah isyarat akan keagungan dan ketinggian kedudukannya serta mulia urusannya. Dan telah diketahui bahwa setiap kitab yang ditulis akan didapati penulisnya memiliki kekurangan padanya, dan mereka (para penulis) akan senantiasa meminta maaf dan udzur kepada pembacanya atas kekeliruan dan kekurangan. 

Adapun Al-Qur’an maka tidak ada keraguan, kebimbangan, kekosongan dan juga perselisihan di dalamnya. Ini merupakan mukjizat dari Allah dan sebagai tantangan bagi yang menolak dari orang-orang kafir dan mereka yang tersesat dari quraisy, di mana mereka menyombongkan diri dan menolak akan penyampaian Al-Qur’an, dan mereka menolak menerima Al-Qur’an di mana tidak seorangpun dapat memaksa mereka. 

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 

2. FirmanNya , “kitab itu” , yakni kitab suci yang agung ini dalam arti hakiki, yang mengandung hal-hal yang tidak dikandung oleh kitab-kitab terdahulu maupun sekarang berupa ilmu yang agung dan kebenaran yang nyata, ”tidak ada keraguan padanya”, dan juga tidak ada kebimbangan padanya dalam bentuk apapun. Meniadakan keraguan dari kitab ini mengharuskan apa yang bertentangan dengannya, di mana hal yang bertentangan dengan hal itu adalah keyakinan, maka kitab ini mengandung ilmu keyakinan yang menghapus segala bentuk keraguan dan kebimbangan. Ini merupakan suatu kaidah yang menunjukkan bahwa peniadaan disini maksudnya adalah pujian yang harus melingkupi hal yang bertentangan dengannya yaitu kesempurnaan, karena peniadaan adalah suatu yang tidak ada, sedangkan hal yang tiada secara murrni itu tidak ada pujian padanya. Dan karena kitab suci ini mengandung keyakinan sedangkan hidayah itu tidaklah akan dapat diperoleh kecuali dengan keyakinan, maka Allah berfirman, ”petunjuk (hidayah) bagi mereka yang bertakwa.” 

Hidayah itu adalah suatu yang memberikan hidayah dari kesesatan dan kesamaran, dan (sebaliknya) membimbing untuk menempuh jalan yang berguna. Allah berfirman di sini, ”petunjuk’’ dan tidak merinci bentuk petunjuknya, Dia tidak berfirman “petunjuk untuk kemaslahatan ini atau untuk kepentingan begini, ” karena yang dimaksud adalahn keumuman (mencakup semua maslahat dan kebaikan), dan bahwasanya ia adalah petunjuk untuk seluruh kemaslahatan kedua negeri, ia adalah pembimbing bagi hamba dalam masalah-masalah ushul (pokok) dan masalah-masalah furu’ (cabang), pemberi penjelasan untuk kebenaran dari kebatilan, dan yang shahih dari yang lemah, dan pemberi penjelasan bagi mereka tata cara menempuh jalan yang berguna bagi mereka di dunia dan akhirat mereka. Allah berfirman pada tempat yang lain, ”petunjuk bagi manusia.” (Al-Baqarah: 185). 

Ini juga umum mencakup semua (untuk seluruh manusia), sedangkan pada pembahasan ini dan yang selainnya adalah ”petunjuk bagi mereka yang bertakwa, ” karena sesungguhnya dalam hal itu sendiri telah bermakna petunjuk bagi seluruh manusia, sedangkan orang-orang yang celaka tidak memperhatikan hal itu dan mereka tidak menerima petunjuk Allah, maka dengan petunjuk ini, hujjah telah ditegakkan atas mereka, dan nereka tidak mengambil manfaat dengannya, dikarenakan mereka adalah orang-orang celaka. Orang-orang yang bertakwa ialah orang-orang yang melakukan sebab yang terbesar demi memperoleh petunjuk yaitu ketakwaan, yang mana hakikatnya adalah menjalankan perkara yang dapat melindungi dari kemurkaan Allah dan azabNya dengan cara mengerjakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya, lalu mereka mengambil petunjuk dengan itu dan mengambil manfaat darinya dengan sebenar-benarnya. 

Maka orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang mengambil manfaat dengan ayat-ayat al-Qur’an dan ayat-ayat kauniyah, juga karena hidayah itu ada dua macam; hidayah penjelasan dan hidayah taufik. Maka orang-orang yang bertakwa mendapatkan kedua hidayah tersebut sedangkan selain dari mereka tidak mendapatkan hidayah taufik, karena hidayah penjelasan tanpa mendapat hidayah taufik untuk mengamalkannya bukan merupakan hidayah secara hakiki dan sempurna. Kemudian Allah menggambarkan ciri orang-orang yang bertakwa tersebut, yaitu memiliki keyakinan-keyakinan dan amalan-amalan batin serta amalan-amalan lahir, karena ketakwaan memang mencakup semua itu. 

Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi 

Makna kata : Dzaalika arti sebenarnya adalah itulah, akan tetapi di sini diartikan dengan “inilah”. Pergeseran arti dari “itulah” ke “inilah” karena huruf Lam menunjukkan isyarat kepada sesuatu yang jauh, dan itu memberikan kesan tingginya kedudukan dan derajat al-Qur’an. Al-Kitaab yaitu Al-Qur’anul Kariim yang dibaca oleh Rasulullah g kepada seluruh manusia. Laa Raiba artinya tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah dan kalamNya yang diwahyukan kepada rasulNya. Fiihi Hudan yakni di dalamnya ada petunjuk untuk meniti jalan yang menghantarkan kepada kebahagiaan dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Lil muttaqiin adalah orang-orang yang menjaga dirinya dari adzab Allah dengan melakukan ketaatan, yaitu dengan melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. 

Makna ayat : Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada rasulNya merupakan kitab yang agung, tidak ada keraguan sedikitpun, dan tidak ada kemungkinan bahwa al-Qur’an itu bukanlah wahyu Allah, sebagai bentuk mukjizat. Kemudian kandungan Al-Qur’an yang berupa petunjuk dan cahaya bagi orang beriman dan bertakwa, dapat menerangi mereka untuk meniti jalan keselamatan, kebahagiaan dan kesempurnaan. Pelajaran dari ayat : 

1. Penguatan keimanan kepada Allah Ta’ala, kitabNya, dan rasulNya. Serta motivasi untuk senantiasa meminta petunjuk dari al-Qur’an. 

2. Penjelasan mengenai keutamaan takwa dan orang-orang yang bertakwa. 

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I 

Allah Ta'ala menamakan Al Qur'an dengan Al kitab berarti "yang ditulis", sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis. Yakni tidak ada keraguan bahwa ia berasal dari Allah Ta'ala, sehingga tidak benar masih meragukannya karena jelas sekali buktinya. Orang-orang yang bertakwa mengambil manfaat darinya, menjadikannya sebagai petunjuk dan ilmu yang bermanfaat serta membuat mereka dapat beramal shalih. Mereka memperoleh dua hidayah; hidayah irsyad (ilmu/petunjuk) dan hidayah taufiq (bisa beramal). 

Al Qur’an meskipun sesungguhnya petunjuk bagi semua manusia, namun hanya orang-orang yang bertakwa yang mau mengambilnya sebagai petunjuk dan melaksanakan isinya. Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. Orang-orang yang bertakwa mengambil manfaat darinya, menjadikannya sebagai petunjuk dan ilmu yang bermanfaat serta membuat mereka dapat beramal shalih. Mereka memperoleh dua hidayah; hidayah irsyad (ilmu/petunjuk) dan hidayah taufiq (bisa beramal). 

Al Qur’an meskipun sesungguhnya petunjuk bagi semua manusia, namun hanya orang-orang yang bertakwa yang mau mengambilnya sebagai petunjuk dan melaksanakan isinya. Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. Kata huda (petunjuk) pada ayat di atas adalah umum, yakni bahwa Al Qur'an merupakan petunjuk terhadap semua maslahat di dunia dan akhirat, ia merupakan pembimbing manusia dalam masalah ushul (pokok seperti keyakinan) maupun furu' (cabang), menerangkan yang hak dan menerangkan kepada mereka jalan yang dapat memberikan manfaat di dunia dan akhirat. 

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI 

Inilah kitab yang sempurna dan penuh keagungan, yaitu Al-Qur'an yang kami turunkan kepada nabi Muhammad, tidak ada keraguan padanya tentang kebenaran apa-apa yang terkandung di dalamnya, dan orang-orang yang berakal sehat tidak akan dihinggapi keraguan bahwa Al-Qur'an berasal dari Allah karena sangat jelas kebenarannya. Al-Qur'an juga menjadi petunjuk yang sempurna bagi mereka yang mempersiapkan diri untuk menerima kebenaran dengan bertakwa, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya agar terhindar dari siksa Allah. 

Meski petunjuk Al-Qur'an diperuntukkan bagi seluruh umat manusia, hanya orang-orang bertakwa saja yang siap dan mampu mengambil manfaat darinya. Orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada hal-hal yang gaib, yang tidak tampak dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan indra mereka, seperti Allah, malaikat, surga, neraka, dan lainnya yang diberitakan oleh Allah dan rasul-Nya. 

Pada saat yang sama, sebagai bukti keimanan itu, mereka beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat, secara sempurna berdasarkan tuntunan Allah dan rasul-Nya, khusyuk serta memperhatikan waktu-waktunya, dan mereka juga menginfakkan di jalan kebaikan sebagian rezeki berupa harta, ilmu, kesehatan, kekuasaan, dan hal-hal lainnya yang bermanfaat yang kami berikan kepada mereka, semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari keridaan-Nya. 

Tafsir Tematis / Team Asatidz TafsirWeb 

Isyarat yang Allah gunakan dalam ayat ini bermakna “kitab yang agung ini (alquran) yang merupakan kitab yang haqiqy yang isi kandungannya mencakup segala hal bahkan yang belum pernah ada dalam kandungan kitab-kitab sebelumnya seperti taurot, injil dan zabur. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam kebenaran isi kandungannya yang berfungsi sebgai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa dari kesesatan kepada kebenaran”. 

Ibnu katsir meriwayatkan bahwa makna “alkitab” dalam ayat ini adalah Alquran. Begitupula imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya meriwayatkan makna “alkitab” dalam ayat ini adalah Alquran yang telah dijanjikan kepada Rosululloh Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang akan diturunkan kepadanya. Hal ini membantah pendapat beberapa ahli tafsir seperti Imam Ibnu Jarir At-tobari yang berpendapat bahawa makna “alkitab” ditunjukan kepada kitab-kita sebelum alquran seperti kitab Taurot, zabur dan injil. Tidak ada sedikitpun keraguan yang terkandung dalam kitab ini, semuanya bersifat yakin dan pasti. Kandungan Al-Quran yang meliputi segala hukum dalam syariat islam tentunya datang dengan penuh kepastian dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena hanya dengan sesuatu yang pastilah akan munculnya petunjuk. Dan tidak mungkin seseorang menjadikan sesuatu yang ada keraguan di dalamnya sebagai petunjuk hidupnya untuk meraih surganya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kepastian dan keyakinan isi kandungan alquran juga disebutkan dalam ayat lain, yaitu firman-NYA: 

تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ 

"Turunnya Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam”. (QS. As-Sajdah :2) 

Sebagian ulama mengatakan, kalimat “tidak ada keraguan di dalamnya” yang digunakan dalam ayat ini bersifat khobar atau berita akan tetapi maknanya adalah nahyi atau larangan, yakni “janganlah kalian meragukannya”. Ulama ahli qiroah menganjurkan dalam pembacaan ayat ini hendaklah berwaqof (berhenti) pada kalimat “laa roiba fiih”. Hal ini dikeranakan makna yang terkandung dalam ayat ini seperti dijelaskan diatas. Lalu melanjutkan kalimat “hudan lilmuttaqiin” yang menjadi sifat dari alquran. Sifat alquran dalam ayat ini yang juga merupakan fungsinya adalah sebagai “hudan” (petunjuk) bagi orang-orang yang bertaqwa. Alhuda adalah satu kata yang bermakna petunjuk yang pasti yang menenangkan hati yang Allah berikan dalam bentuk keimanan kepada hati seseorang. Tidak ada yang bisa memberikannya kecuali Allah semata. Bahkan serorang nabi pun tidak mampu melakukannya tanpa izin dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaiman firman-NYA : 

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ 

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qhoshos :56) 

Mendapatkan petunjuk merupakan sesuatu angurah yang sangat besar dari Allah. Karenanya Hanya orang-orang yang bertaqwa saja yang akan mendapatkan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Orang bertaqwa juga dimaknai sebagai orang yang beriman, Artinya hanya orang-orang beriman saja yang akan mendapatkan petunjuk dari alquran ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang lain : 

قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ 

"Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh". (QS. 

Fushilat :44) Dan firman-NYA : 

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا 

“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. Al-Isro :82) 

Yang dimaksud dengan kalimat “muttaqiin” dalam ayat ini adalah mereka yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi hal-hal yang Allah haramkan. Ibnu Abi hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Imron, dari Ishaq Ibnu Sulaiman – yakni Ar-Rozi- dari Almugiroh Ibnu Muslim, dari maimun Abu hamzah telah berkata : “ketika dia sedang duduk di dekat Abu Wail, masuk-lah seorang laki-laki yang dikenal dengan sebutan Abu Afif, salah seorang muridnya Muadz. Syafiq Ibnu Salamah berkata kepadanya “Hai Abu Afif, tidakkah engkau ceritakan kepada kami apa yang telah dikatakan Muadz ibnu Jabal kepadmu?” Abu Afif menjawab “tentu saja, aku pernah mendenga Muadz Bin Jabal berkata bahwa kelak di hari kiamat umat manusia ditahan di suatu tempat, kemudian ada suara yang menyerukan “dimanakah orang-orang yang bertaqwa?”. Lalu mereka (orang-orang yang bertaqwa) bangkit dibawah naungan Tuhan mereka yang Maha Pemurah, Allah menampakan diri-NYA kepada mereka tanpa ada hijab yang menutupi diri-NYA” aku bertanya kepada Muadz “siapakah orang-orang yang bertaqwa itu?”. Muadz menjawab “mereka adalah orang-orang yang menghindarkan dirinya dari perbuatan syirik dan penyembahan berhala, mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata, lalu mereka masuk ke dalam surga”.


ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ 

Arab-Latin: Allażīna yu`minụna bil-gaibi wa yuqīmụnaṣ-ṣalāta wa mimmā razaqnāhum yunfiqụn 

Terjemah Arti: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

Mereka itu adalah orang-orang yang membenarkan perkara-perkara yang gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra dan akal mereka Semata, karena hal itu tidak dapat diketahui kecuali dengan wahyu dari Allah kepada rasul-Nya. seperti iman kepada malaikat,surge,neraka dan yang lainnya dari apa-apa yang diberitakan oleh Allah atau diberitakan oleh Rosul-Nya sholallohu’alaihi wasallam. (Iman adalah satu kalimat yang mengandung arti iqrar kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosulul-Nya, hari akhir dan qadar yang baik dan yang buruk. dan yang membuktikan benarnya ikrar tersebut adalah dengan ucapan dan amal dengan hati, lisan dan anggota tubuh) Dan mereka denga bukti kebenaran iman mereka terhadap yang gaib adalah dengan menjaga pelaksanaan salat pada waktu-waktunya dengan pelaksanaan yang shahih sesuai dengan yang Allah syariatkan kepada nabi-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. dan dari sebagian harta yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka mengeluarkan zakat yang wajib maupun yang sunnah dari harta mereka. 

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) 

3-4. (Orang-orang yang bertakwa itu adalah) orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, yaitu segala sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera dan tersembunyi, yang diberitakan oleh Allah atau Rasulullah seperti hari Akhir. Dan orang-orang yang mendirikan salat, yakni menunaikannya sesuai ketentuan syariat yang meliputi syarat, rukun, wajib dan sunnahnya. Dan mereka adalah orang-orang yang gemar menginfakkan sebagian rezeki yang mereka terima dari Allah, baik yang sifatnya wajib seperti zakat, maupun yang tidak wajib seperti sedekah, demi mengharap pahala dari Allah. Mereka juga yang beriman kepada wahyu yang Allah turunkan kepadamu –wahai Nabi- dan wahyu yang Dia turunkan kepada para nabi -'alaihimussalām- sebelum kamu, tanpa membeda-bedakan di antara mereka. Dan mereka juga beriman secara tegas akan adanya akhirat beserta ganjaran dan hukuman yang ada di dalamnya. 

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 

3. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ Makna iman secara bahasa adalah meyakini; sedangkan makna ghaib adalah semua yang dikabarkan oleh Rasulullah yang tidak bisa dicerna oleh akal seperti: tanda-tanda kiamat, azab kubur, hari kebangkitan, shirath, mizan, surga, dan neraka. 

Disebutkan dalam hadist yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Umar dari Nabi bahwa beliau bersabda: “iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. “ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ Iqamah ash-sholah adalah mengerjakannya dengan memenuhi segala rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya, dan hai’ah-hai’ahnya dalam waktu yang telah ditetapkan. 

Menurut Ibnu Abbas dalam kalimat (ويقيمون الصلاة) yakni sholat wajib lima waktu. وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ 

Menurut Ibnu Ibnu abbas kata infaq disini ialah zakat yang dikeluarkan dari harta mereka; sedangkan menurut Ibnu Jarir maksud dari infaq adalah infaq dalam arti luas yang mencakup zakat dan sedekah tanpa membedakan infaq untuk kerabat atau yang lainnya, yang wajib maupun yang sunnah, dan inilah pendapat yang benar. 

Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas Qashim - Saudi Arabia 

Al-Qur'an senantiasa memuji orang-orang yang menginfakkan harta mereka dan mengajak kepada pentingnya infaq; karena infaq adalah sebaik-baiknya cara untuk mengangkat derajat suatu kaum dan menjadi sebab keselamatan mereka dari berbagai musibah dan bencana yang bermacam-macam : seperti musibah kemiskinan, kebodohan, dan berbagai jenis penyakit menular, harta yang dikeluarkan akan menutupi kebutuhan orang-orang faqir, dengannya juga lembaga-lembaga pendidikan akan mendapatkan bantuan dana untuk melancarkan kegiatan mereka, dan dengan infaq itu dapat dibangun sejumlah bangunan pusat kesehatan masyarakat, dan berbagai macam kebutuhan massal lainnya.

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah 

Ciri-ciri orang yang bertakwa ada 6, yaitu membenarkan secara mutlak dan sempurna semua sesuatu yang ghaib, seperti malaikat, jin, hari kebangkitan, hari perhitungan, dan hal lain tentang kengerian hari kiamat; melaksanakan shalat secara sempurna dengan rukun dan syaratnya, khusyu’ di dalamnya karena Allah dan menjaganya sesuai waktunya; menafkahkan apa yang diberikan oleh Allah secara baik dan halal untuk zakat yang telah diwajibkan, untuk sedekah di jalan Allah, serta nafkah wajib untuk kerabat dan keluarga lainnya; 

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi 

Allah mengabarkan bahwa di antara sifat dari mereka orang-orang yang bertaqwa adalah mereka mengimani sesuatu yang ghaib, dan ghaib pengertiannya adalah apa yang tidak dapat di indera serta dilihat dari apa yang disebutkan oleh Allah akan kaifiyat dzat-Nya dan urusan-urusan akhirat serta barzakh. Di antara yang ghaib adalah kabar-kabar akan umat-umat terdahulu dan para nabi mereka. Arsy, malaikat, jin dan selainnya (termasuk yang ghaib). Di antara sifat mereka yang bertaqwa adalah mereka senantiasa menjaga shalat-shalat mereka di waktu-waktu yang telah ditentukan bersama dengan jama’ah kaum muslimin, kecuali mereka yang memiliki udzur yang Allah berikan juga udzur bagi mereka. mereka mengerjakan shalat dengan tenang dan berwibawa dengan menghadirkan hati, khusyuk, tunduk dan memperbanyak dari doa-doa mereka yang penting serta memiliki keutamaan. Di antara sifat mereka adalah mereka menginfakkan atas apa yang telah Allah berikan dari harta, mereka keluarkan untuk zakat yang wajib, bersedekah yang dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 

3. “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib.” 

Hakikat keimanan adalah pembenaran yang total terhadap apa pun yang dikabarkan oleh para Rasul, yang meliputi ketundukan anggota tubuh. Perkara keimanan itu tidak hanya kepada hal-hal yang dapat diperoleh oleh panca indera semata, karena hal ini tidaklah mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, namun perkara yang dianggap dalam keimanan kepada yang ghaib adalah yang tidak kita lihat dan tidak kita saksikan, namun kita hanya mengimaninya saja karena ada kabar dari Allah dan kabar dari RasulNya. 

Itulah keimanan yang mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, karena itulah pembenaran yang utuh terhadap Allah dan RasulNya. Maka seorang yang beriman adalah yang mengimani segala sesuatu yang dikabarkan olh RasulNya, baik yang dia saksikan ataupun tidak, baik dia mampu memahami dan masuk akalnya, ataupun akal dan pemahamannya tidak mampu mencernanya. Berbeda dengan orang-orang atheis yang mendustakan perkara-perkara ghaib, karena akal-akal mereka yang terbatas lagi lalai tidak sampai kepadanya, akhirnya mereka mendustakan apa yang tidak mampu dipahami oleh ilmu mereka, yang pada akhirnya rusaklah akal-akal mereka, sia-sialah harapan mereka, dan (sebaliknya) bersihlah akal kaum Mukminin yang membenarkan lagi mengambil hidayah dengan petunjuk Allah. 

Dan termasuk dalam keimanan kepada yang ghaib adalah keimanan kepada seluruh kabar yang diberitakan oleh Allah dari hal-hal ghaib yang terdahulu maupun yang akan datang kondisi-kondisi Hari Akhirat, hakikat sifat-sifat Allah dan bentuk-bentuknya, dan kabar yang diberikan oleh RasulNya tentang semua itu; dimana mereka beriman kepada sifat-sifat Allah dan keberadaanya, dan mereka meyakininya walaupun mereka tid ak mampu memahami cara dan bentuknya. Kemudian Allah berfirman, ” yang mendirikan shalat”. Dia tidak berfirman yang mengerjakan shalat, atau menjalankan shalat, karena sesungguhnya tidaklah cukup hanya sekedar menjalankan dengan bentuknya yang lahir saja, karena mendirikan shalat yang dimaksud adalah mendirikan shalat secara lahir dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan syarat-syaratnya, dan juga mendirikannya secara bathin dengan mendirikan ruhnya yaitu dengan menghadirkan hati padanya, merenungi apa yang dibaca dan mengamalkannya. Yaitu shalat yang memperoleh ganjaran. 

Maka tidak ada ganjaran bagi seorang hamba dari shalatnya kecuali apa yang dia pahami darinya, dan termasuk dalam shalat di sini adalah yang wajib maupun yang sunnah. Kemudian Allah berfirman, “ dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka.” Termasuk didalamnya nafkah-nafkah yang wajib, seperti zakat, nafkah atas istri, keluarga dan para budak dan sebagainya., dan nafkah-nafkah yang dicintai dengan segala jalan kebaikan. Dan tidak disebutkannya hal –hal yang diinfakkan karena banyaknya sebab-sebabnya dan bermacam-macam penerimaanya, dan karena nafkah itu pada dasarnya adalah sebuah ibadah kepada kepada Allah. Dia juga disebutkan dengan kata “Dari” yang menunjukkan makna sebagian, demi untuk mengingatkan mereka bahwasanya Allah tidak menghendaki dari mereka kecuali sebagian kecil saja dari harta-harta mereka yang tidak akan memudaratkan mereka dan tidak akan pula memberatkan mereka, bahkan mereka akan mengambil manfaat dari infak mereka tersebut, dan saudara-saudara mereka juga akan dapat mengambil manfaat darinya. Dan dalam firman Allah, “ rizki yang kami anugerahkan kepada mereka” terkandung sebuah isyarat bahwa yang ada di hadapanmu ini tidaklah diperoleh dari kekuatan dan kepemilikanmu, akan tetapi itu semua adalah rizki Allah yang dianugerahkan kepada kalian dan diberikanNya nikmat itu atas kalian. Maka karena nikmat yang diberikan oleh Allah atas kalian dan kemurahanNya terhadap kalian dibanding banyak hamba-hambaNya yang lain, maka bersyukurlah kepadaNya dengan mengeluarkan sebagian nikmat yang diberikan atas kalian tersebut, dan hiburlah saudara-saudara kalian yang tidak memilikinya. 

Dan sangatlah banyak sekali Allah menyatukan (menyandingkan) shalat dengan zakat dalam alQur’an, karena shalat itu mengandung keikhlasan hanya kepada Dzat yang disembah, sedangkan zakat dan nafkah mengandung berbuat baik kepada sesama hamba-hambaNya. Maka tanda dari kebahagiaan seorang hamba adalah keikhlasannya kepada Dzat yang disembah dan usahanya dalam membderikan manfaat kepada manusia, sebagaimana tanda kesengsaraan seorang hamba adalah tidak adanya kedua perkara tersebut pada dirinya, tidak ada keikhlasan dan tidak pula perbuatan baik kepada sesama. 

Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi 

Makna kata : يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ Yu’minuuna bil ghoib yaitu mereka yang membenarkan dengan penuh keyakinan adanya sesuatu yang ghoib dimana tidak bisa dirasakan oleh panca indera seperti Rabb yang Maha Tinggi lagi Maha suci, baik dzatNya ataupun sifatNya, malaikat, hari kebangkitan, surga dan kenikmatannya, serta neraka dan adzab di dalamnya. وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ Wa yuqiimuunash sholaat artinya mereka yang senantiasa melaksanakan sholat lima waktu pada waktunya dengan memperhatikan syarat, rukun, dan sunah-sunahnya, serta mengerjakan sholat sunah rawatib dan selainnya. وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ Wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquun yakni mereka menginfakkan sebagian harta yang diberikan oleh Allah. Hal itu dilakukan dengan cara mengeluarkan zakat hartanya, dan berinfak untuk keperluan dirinya, istrinya, anaknya, dan orangtuanya. Serta bersedekah untuk fakir miskin. Makna ayat : Allah Ta’ala dalam ayat-ayat di atas menyebutkan tiga sifat orang-orang yang bertakwa, yaitu beriman kepada hal yang ghaib, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, serta beriman terhadap kitab-kitab Allah dan iman kepada hari akhir 

Pelajaran dari ayat:

Seruan kepada kaum mukminin dan motivasi untuk mereka agar memiliki sifat golongan yang mendapat hidayah dan keberuntungan, agar menempuh jalan yang mereka lalui sehingga mendapatkan hidayah dan beruntung di dunia dan akhirat. 

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I 

Iman artinya kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa atau pengakuan di hati yang membuahkan ketundukkan di lisan (dengan iqrar) dan pada anggota badan. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. Yang ghaib ialah yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera. Percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya. Mengapa beriman itu kepada yang ghaib? 

Jawabnya adalah karena beriman kepada sesuatu yang disaksikan atau dirasakan panca indera tidak dapat membedakan mana muslim dan mana kafir. Oleh karena itu, orang mukmin beriman kepada semua yang diberitakan Allah Ta'ala dan rasul-Nya, baik mereka menyaksikannya atau tidak, baik mereka memahaminya atau tidak dan baik dijangkau oleh akal mereka maupun tidak. Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Tidak ada keimanan yang diimani oleh orang mukmin yang lebih utama daripada keimanannya kepada yang ghaib", lalu Ibnu Mas'ud membaca ayat "Alladziina yu'minuuna bil ghaib". Yakni di samping beriman kepada yang ghaib, mereka buktikan dengan mendirikan shalat. Shalat menurut bahasa 'Arab: doa, menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat merupakan pembuktian terhadap pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. 

Shalat yang seperti inilah yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Allah tersebut kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh agama memberinya, baik yang wajib maupun yang sunat. Contoh pengeluaran yang wajib adalah zakat, menafkahi anak dan istri, kerabat (seperti orang tua) dan budak, sedangkan yang sunat adalah semua jalan kebaikan. 

Disebutkan "sebagian rezeki" menunjukkan bahwa yang Allah inginkan hanyalah sedikit dari harta mereka; tidak memadharatkan mereka dan tidak membebani, dan dipakainya kata-kata "rezeki" untuk mengingatkan bahwa harta yang ada pada mereka merupakan rezeki dari Allah yang menghendaki untuk disyukuri dengan menyisihkan sebagiannya berbagi bersama saudara-saudara mereka yang tidak mampu. Shalat dan zakat sangat sering disebutkan secara bersamaan di dalam Al Qur'an, karena shalat mengandung sikap ikhlas kepada Allah Ta'ala, sedangkan zakat dan infak mengandung sikap ihsan terhadap sesama hamba Allah Ta'ala. Oleh karena itu, tanda kebahagiaan seorang hamba adalah dengan bersikap ikhlas kepada Allah dan berusaha memberikan manfa'at kepada makhluk, sebagaimana tanda celakanya seorang hamba adalah ketika tidak adanya kedua ini, yakni ikhlas kepada Allah Ta'ala dan berbuat ihsan kepada sesama hamba Allah Ta'ala.

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI 

Orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada hal-hal yang gaib, yang tidak tampak dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan indra mereka, seperti Allah, malaikat, surga, neraka, dan lainnya yang diberitakan oleh Allah dan rasul-Nya. Pada saat yang sama, sebagai bukti keimanan itu, mereka beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat, secara sempurna berdasarkan tuntunan Allah dan rasul-Nya, khusyuk serta memperhatikan waktu-waktunya, dan mereka juga menginfakkan di jalan kebaikan sebagian rezeki berupa harta, ilmu, kesehatan, kekuasaan, dan hal-hal lainnya yang bermanfaat yang kami berikan kepada mereka, semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari keridaan-Nya. Dan ciri-ciri lainnya dari orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan dari Allah kepadamu, wahai nabi Muhammad, berupa Al-Qur'an dan adz-dzikr (hadis), dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum engkau, seperti taurat, zabur, injil, dan suhuf-suhuf (lembaran-lembaran) yang tidak seperti kitab, dengan tidak membeda-bedakannya, sebab risalah Allah pada mulanya satu, dan mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat setelah kehidupan di dunia ini, dengan penuh keyakinan di dalam hati yang dibuktikan secara lisan dan perbuatan. 

Tafsir Tematis / Team Asatidz TafsirWeb 

Ayat ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya tentang orang-orang yang bertaqwa. Allah ta’ala merinci beberapa karakteristik orang-orang yang bertaqwa tersebut dalam ayat ini, diantaranya : Pertama, iman kepada yang gaib Abu ja’far ar-Razi menceritakan, dari Abdulloh, ia mengatakan, “Iman itu adalah kebenaran”. 

Ali bin abu Thalhah dan juga yang lainnya menceritakan, dari Ibnu Abbas rhodiyallohu ‘anhu, ia mengatakan; “Mereka beriman (maksudnya adalah) mereka membenarkan”. Sedangkan Mu’ammar mengatakan dari az-Zuhri “Iman adalah amal”. Abu ja’far ar-Razi juga mengatakan dari Ar-Robi’ bin Anas, “iman itu adalah takut”. Seperti firman-Nya: 

إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ 

"Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar". (QS. Al-Mulk : 12)

Ibnu jarir mengatakan makna yang lebih daik dan tepat dari iman adalah mereka harus mensifati diri dengan iman kepada yang ghaib baik melalui ucapan maupun perbuatan, kata iman itu mencakup keimanan kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan Rosul-rosul-Nya sekaligus membenarkan pernyataan itu melalui amal perbuatan. 

Demikianlah makna iman yang diartikan dalam istilah syariat yang mencakup keyakinan, ucapan dan amal perbuatan. Hal ini merupakan pendapat yang menjadi pegangan mayoritas ulama, bahkan telah dinyatakan secara Ijma’ oleh Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaidah, dan lain-lain yang menyatakan:

أن الإيمان قول وعمل يزيد وينقص 

“Bahwa iman adalah pembenaran dengan ucapan dan amal perbuatan yang dapat bertambah dan berkurang”. 

Mengenai hal ini banyak hadits-hadits dan atsar yang membahasnya. Adapun makna yang ghaib dalam ayat ini terdiri dari banyak hal yang dinyatakan para ulama diantaranya : Abu ja’far ar-Razi dari Abi Al-‘Aliyah mengatakan “beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, Rosul-rosul, hari akhir, surga, neraka, dan pertemuannya. Dan beriman akan adanya kehidupan setelah kematian dan hari kebangkitan” dan semua hal tersebut merupakan sesuatu yang ghaib. 

Berkata As-Sadi dari abi Malik dari Abi Sholih dari Ibnu Abbas dari Muroh al-Hamdani dari Ibnu Mas’ud dari salah seorang sahabat Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam “adapun hal yang ghaib adalah sesuatu yang tidak diketahui seorang hamba tentang masalah surge, masalah neaka, dan apa-apa yang disebutkan dalam al-quran. Ibnu abbas juga meriwayatkan, yang dimaksud yang ghaib adalah sesuatu yang datang dari Allah ta’ala. Beberapa mufasir mengatakan makna yang ghaib dengan makna yang Bagaimana, ada yang memaknainya taqdir, islam, dan masih banyak pendapat yang lainnya. 

Said bin Mansur berkata dari hadits yang diriwayatkan Abdurrahman bin Yazid, dia berkata : “kami sedang duduk bersama Ibnu Mas’ud, maka kami menyebut sahabat-sahabat nabi yang sudah berlalu, maka berkatalah Abdulloh :, “sesungguhnya perintah nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam ada diantara kita dan kita telah melihatnya, Demi Dzat yang tidak ada tuhan selain-Nya, tidak ada seorangpun yang lebih baik imannya, daripada iman kepada yang ghaib. Kemudian beliau membaca: 

الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ….. ….وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (QS. Al-Baqarah ayat 1-5) 

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muhairiz, ia ,menceritakan

قلت لأبي جمعة : حدثنا حديثا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : نعم ، أحدثك حديثا جيدا : تغدينا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ومعنا أبو عبيدة بن الجراح ، فقال : يا رسول الله ، هل أحد خير منا ؟ أسلمنا معك وجاهدنا معك . قال : نعم ، قوم من بعدكم يؤمنون بي ولم يروني . 

"Aku pernah berkata kepada Abi Jum’ah: “beritahukan kepada kami sebuah hadits yang engkau dengar dari Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam ?”. Ia pun berkata, “baiklah, aku akan beritahukan sebuah hadits kepadamu. Kami pernah makan siang bersama Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam, dan bersama kami terdapat Abu Ubaidah bin al-Jarrah, lalu ia bertanya : “Ya Rosululloh, adakah seseorang yang lebih baik dari kami? Sedangkan kami telah masuk Islam bersamamu dan berjihad bersamamu pula?.” Beliau menjawab : “Ya, ada. Suatu kaum setelah kalian yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku” Kedua, mendirikan sholat. 

Ibnu Abbas mengatakan, “وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ” berarti mendirikan sholat dengan segala kewajibannya. Ad-Dhohak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mendirikan sholat berarti mengerjakan dengan sempurna ruku’,sujud, bacaan, serta penuh kekhusyuan. Qotadah mengatakan, mendirkan sholat berarti berusaha mengerjakannya tepat waktu, berwudhu, ruku’, dan bersujud. Muqotil bin Hayyan mengatakan, “mendirikan sholat” berarti menjaga untuk selalu mengerjakannya pada waktunya, menyempurnakan wudhuu, ruku’, sujud, bacaan al-Quran, tasyahud, serta membaca sholawat kepada Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam. Demikian itulah makna “mendirikan sholat”. Ketiga, menafkahkan sebagian rizki yang dianugrahkan kepadanya. Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya menceritakan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan “maksud menafkahkan harta adalah mengeluarkan zakat dari harta kekayan yang dimilikinya”. 

As-Suddi menceritakan dari Ibnu Abbas, dari Ibnu Mas’ud, dan dari beberapa shahabat Rosululloh, ia mengatakan maksud ayat ini adalah memberi nafkah kepada keluarganya. Hal ini sebelum adanya ayat yang menjelaskan tentang kewajiban zakat, yang dikemudian hari turun dalam 7 ayat surat At-Taubah.

Ibnu jarir menyimpulkan bahwa ayat ini bersifat umum mencakup segala bentuk zakat dan infaq. Ia mengatakan “sebaik-baik tafsir mengenai sifat kaum itu adalah hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah orang-orang yang harus ia jamin dari kalangan keluarga, anak-anak dan yang lainnya dari kalangan orang-orang yang wajib ia nafkahi. Karena hubungan kekerabatan, kepemilikan (budak) atau faktor lainnya. Yang demikian itu karena Allah ta’ala mensifati dan memuji mereka dengan hal itu secara umum. Setiap zakat dan infak merupakan sesuatu yang sangat terpuji. Ibnu Katsir berkata : “seringkali Allah ta’ala menyandingkan antara sholat dan zakat. Sholat merupakan hak Allah sekaligus bentuk ibadah kepada-Nya. Dan ia mencakup pengesaan, penyanjungan, pengharapan, pemujian, pemanjatan doa, serta tawakkal kepada-Nya. Sedangkan infak (zakat) merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada sesame makhluk dengan memberi manfaat kepada mereka. Dan yang paling berhak mendapatkannya adalah keluarga, kaum kerabat, serta orang-orang dekat. Dengan demikian segala bentuk nafkah dan zakat yang wajib, tercakup dalam firman-Nya:

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ 

“Dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. Dan hal itu juga disebutkan dalam hadits shohih bukhori dan muslim dari Ibnu Umar, bahwasanya Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

 بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وصوم رمضان ، وحج البيت 

“islam didirikan di atas lima landasan, bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah rosululloh, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, serta melaksanakan ibadah haji.” (HR. Bukhori dan Muslim)


وَٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِٱلْءَاخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ 

Arab-Latin: Wallażīna yu`minụna bimā unzila ilaika wa mā unzila ming qablik, wa bil-ākhirati hum yụqinụn 

Terjemah Arti: Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

Dan orang-orang yang membenarkan semua yang diturunkan kepadamu wahai Rasul dari Alquran dan segala yang diturunkan kepadamu berupa Al Hikmah yaitu as-sunnah. Dan kepada semua yang yang diturunkan kepada para rasul sebelum mu berupa kitab-kitab seperti taurot, Injil dan kitab-kitab lainnya. dan mereka juga membenarkan adanya Negeri kehidupan setelah kematian dan segala yang akan terjadi di sana berupa perhitungan dan pembalasan amal perbuatannya. pembenaran ini dengan hati mereka yang kemudian diperlihatkan oleh lisan dan anggota tubuh mereka. Secara khusus hari akhir disebutkan disini karena iman kepadanya termasuk diantara dorongan paling penting untuk berbuat ketaatan, menjauhi perkara-perkara yang diharamkan dan melakukan introspeksi diri. 

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) 

3-4. (Orang-orang yang bertakwa itu adalah) orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, yaitu segala sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera dan tersembunyi, yang diberitakan oleh Allah atau Rasulullah seperti hari Akhir. Dan orang-orang yang mendirikan salat, yakni menunaikannya sesuai ketentuan syariat yang meliputi syarat, rukun, wajib dan sunnahnya. Dan mereka adalah orang-orang yang gemar menginfakkan sebagian rezeki yang mereka terima dari Allah, baik yang sifatnya wajib seperti zakat, maupun yang tidak wajib seperti sedekah, demi mengharap pahala dari Allah. Mereka juga yang beriman kepada wahyu yang Allah turunkan kepadamu –wahai Nabi- dan wahyu yang Dia turunkan kepada para nabi -'alaihimussalām- sebelum kamu, tanpa membeda-bedakan di antara mereka. Dan mereka juga beriman secara tegas akan adanya akhirat beserta ganjaran dan hukuman yang ada di dalamnya. 

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 

4. وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ َ 

Yakni orang-orang yang mempercayai apa yang kau bawa dari Allah Ta’ala dan apa yang dibawa oleh Rasul-Rasul sebelummu tanpa membeda-bedakan mereka dan tidak mengingkari mereka. Bukan orang-orang yang mempercayai apa yang dibawa oleh Rasul-Rasul sebelummu kemudian mengingkari apa yang kau bawa dari Allah Ta’ala. وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُون Yakni mereka meyakini hari kebangkitan, hari mereka dikumpulkan di Mahsyar, dan semua hal yang berhubungan dengan akhirat seperti hari kiamat, surga, neraka, hisab, dan mizan tanpa keraguan sedikitpun. 

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah 

Meyakini apa yang diwahyukan kepadamu wahai Muhammad dari Al-Qur’an dan apa yang diwahyukan kepada rasul-rasul sebelum kamu dari kitab-kitab sebelumnya; membenarkan rumah akhirat dan apa yang ada di dalamnya yang berupa kebangkitan, surga, neraka, perhitungan amal, jembatan shirat, dan timbangan amal; dan mengimani semua itu tanpa ragu 

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi 

Allah kemudian menyebutkan bahwa sifat mereka yang bertaqwa adalah mereka membenarkan apa yang diturunkan kepada para nabi yang sebelummu wahai Nabi Allah yaitu Al-Qur’an, mereka juga membenarkan kitab-kitab samawiyyah yang diturunkan kepada para nabi sebelummu, dan mereka juga mengimani hari akhir yaitu hari kiamat, mereka juga mengetahui dengan ilmu yakin yang ada tiga macam :

1. Yakin dengan berita : Ia adalah ilmu yakin yang sempurna (dengan membenarkan), dalilnya adalah firman Allah : Sekali-kali tidak, seandainya kalian mengetahui dengan ilmu yakin. (At-Takatsur : 5) 

2. Yakin dengan cara melihat : Ia adalah ainul yakin (keyakinan dengan cara melihat), dalilnya adalah firman Allah : Kemudian kalian akan melihat dengan mata-mata kalian sendiri. (At-Takatsur : 7) 

3. Yakin secara langsung dan mengindra secara langsung akan sesuatu : Yaitu merasakan secara langsung dengan sebenar-benarnya keyakinan, dalilnya adalah firman Allah : Sesungguhnya ini adalah kebenaran yang pasti. (At-Takatsur: 7)

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 

4. Kemudian Allah berfirman, ”dan mereka yang beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu” yaitu al-qur’an dan assunnah. Maka orang-orangb yang bertakwa itu beriman kepada seluruh perkara yang datang dari Rosul, dan mereka tidak membedakan antara sebagian dengan lainnya dari apa yang diturunkan kepadanya, di mana dia beriman dari sebagiannya dan tidak beriman dengan sebagiannya, baik dengan cara mengingkarinya atau dengan mentakwilkannya dari maksud yang dikehendaki oleh Allah dan RosulNya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan bid’ah yang mentakwilkan nash-nash yang bertentangan dengan pendapat mereka, yang pada implikasinya tidak mempercayai makna-maknanya walaupun mereka mempercayai kata-katanya, sehingga (hakikatnya) mereka tidak beriman kepadanya secara hakiki. Dan firmanNya, “dan apa yang telah diturunkan sebelummu, ” meliputi keimanan kepada seluruh kitab-kitab terdahulu, dan keimanan kepada kitab-kitab yang mencakup keimanan kepada rosul-rosul dan kepada hal-hal yang meliputinya, khususnya, Taurat , Injil dan Zabur. Dan ini adalah keistimewaan kaum Mukminin yang beriman kepada kitab-kitab langit seluruhnya, dan kepada seluruh rosul-rosul dan mereka tidak membeda-bedakan salah satu di antara mereka. 

Kemudian Allah berfirman, ” serta mereka yakin akan adanya akhirat”. Akhirat adalah sebuah nama bagi kehidupan yang ada setelah kematian, dan disebutkannya secara khusus setelah kata yang umum, adalah karena keimanan kepada Hari Akhirat termasukm salah satu dari rukun iman, dan karena merupakan pendorong yang paling besar dalam hal harapan , kekhawatiran dan beramal. Sedangkan keyakinan adalah ilmu yang sempurna yang padanya tidak ada keraguan sedikit pun yang membuahkan perbuatan. Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi Makna kata : يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ Yu’minuuna bimaa unzila ilaika dengan membenarkan wahyu yang diturunkan kepada engkau wahai Rasul yaitu Al-Qur’an dan sunnah. وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ Wa Maa unzila min qoblika maknanya dan mereka beriman terhadap kitab-kitab yang Allah turunkan kepada rasul-rasul yang sebelumnya seperti Taurat, Injil, dan Zabur. وَبِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ Wa bil Aakhiroti hum yuuqinuun maknanya dengan kehidupan akhirat dan kejadian-kejadian yang ada pada saat itu seperti hisab, penghitungan pahala, dan pembalasan. Mereka mengetahui dan meyakini tanpa ada keraguan sedikitpun, karena sempurnanya iman dan besarnya ketakwaan. Makna ayat : Ditambah serta beriman terhadap kitab-kitab Allah dan iman kepada hari akhir. 

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I 

Yaitu Al Qur'an, demikian juga apa yang diturunkan kepada Beliau berupa hikmah (As Sunnah). Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelum Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran seperti: Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-Shuhuf yang tersebut dalam Al Qur'an yang diturunkan kepada Para rasul. Allah menurunkan kitab kepada Rasul ialah dengan memberikan wahyu kepada Jibril 'alaihis salam., lalu Jibril menyampaikannya kepada rasul. Yakin ialah kepercayaan yang kuat dengan tidak dicampuri keraguan sedikitpun. Akhirat lawan dunia. Kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah mati dan sesudah dunia berakhir. yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya kehidupan sesudah mati (yaitu alam barzakh yang di dalamnya terdapat fitnah kubur, azab kubur dan nikmat kubur) dan sesudah dunia berakhir (seperti kebangkitan manusia, pengumpulan manusia di padang mahsyar, adanya hisab (pemeriksaan amalan), mizan (penimbangan amalan), surga dan neraka). Di antara hikmah mengapa Allah sering menyebutkan hari akhir dalam Al Qur’an adalah karena beriman kepada hari akhir memiliki pengaruh yang kuat dalam memperbaiki keadaan seseorang sehingga ia akan mengisi hari-harinya dengan amal shalih, ia pun akan lebih semangat untuk mengerjakan keta’atan itu sambil berharap akan diberikan pahala di hari akhir itu, demikian juga akan membuatnya semakin takut ketika mengisi hidupnya dengan kemaksiatan apalagi merasa tentram dengannya. Beriman kepada hari akhir juga membantu seseorang untuk tidak berlebihan terhadap dunia dan tidak menjadikannya sebagai tujuan hidupnya. Di antara hikmahnya juga adalah menghibur seorang mukmin yang kurang mendapatkan kesenangan dunia karena di hadapannya ada kesenangan yang lebih baik dan lebih kekal.

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI 

Dan ciri-ciri lainnya dari orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan dari Allah kepadamu, wahai nabi Muhammad, berupa Al-Qur'an dan adz-dzikr (hadis), dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum engkau, seperti taurat, zabur, injil, dan suhuf-suhuf (lembaran-lembaran) yang tidak seperti kitab, dengan tidak membeda-bedakannya, sebab risalah Allah pada mulanya satu, dan mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat setelah kehidupan di dunia ini, dengan penuh keyakinan di dalam hati yang dibuktikan secara lisan dan perbuatan. Mereka yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana disebutkan itulah yang mendapat petunjuk dari tuhannya, berada pada posisi yang sangat mulia dan agung, sebab mereka menaati semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, dan hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung memperoleh apa yang mereka inginkan, yaitu kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat dengan dimasukkan ke dalam surga dan terbebas dari neraka. 

Tafsir Tematis / Team Asatidz Tafsir Web 

Ayat ini masih merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya tentang orang-orang yang bertaqwa. Allah ta’ala merinci beberapa karakteristik lain tentang orang-orang yang bertaqwa tersebut dalam ayat ini, diantaranya : 

Pertama, beriman kepada Kitab (Al Quran) dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum Alquran. Ibnu Abbas mengatakan, maksud dari ayat ini adalah “mereka membenarkan apa yang engkau bawa (Muhammad) dari Allah ta’ala dan apa yang dibawa oleh para Rosul sebelum dirimu. Mereka sama sekali tidak membedakan antara para Rosul tersebut serta tidak ingkar terhadap apa yang mereka bawa dari Rabb mereka. Dan mereka yakin akan adanya kebangkitan, kiamat, surga, neraka, perhitungan, dan timbangan.” 

Kedua, meyakini adanya hari akhir. Dinamai hari akhir (akhirat), karena ia ada setelah dunia. Yang meliputi masa setelah selesainya kehidupan dunia, mulai dari hari kebangkitan, mahsyar, hisab, mizan, shirot, surge dan neraka. 

Para ulama berbeda pendapat tentang siapa orang-orang disifati dalam ayat ini. Setidaknya terdapat tiga pendapat dalam masalah ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
 
Pertama, orang-orang yang disifati Allah dalam ayat keempat surat Al-Baqoroh ini adalah mereka yang disifati dalam ayat sebelumnya, yaitu seluruh orang-orang yang beriman, baik dari orang arab, ahlu kitab dan yang lainnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid, Abu al-Aliyah,Ar-Rabi’ bin Anas, dan Qotadah. 

Kedua, mereka itu adalah satu yakni orang-orang yang beriman dari kalangan ahlu kitab. 

Ketiga, mereka yang disifati di ayat sebelumnya adalah orang-orang arab dan yang disifati dalam ayat ini adalah orang beriman dari kalangan ahlu kitab. Pendapat ini dikemukakan oleh As-Suddi dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud dan beberapa sahabat dan dipilih juga oleh Ibnu Jarir, berdasarkan firman Allah pada ayat yang lain:

وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ 

"Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah (QS. Ali Imron :199)." Dan firman-Nya:

الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ - وَإِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ قَالُوا آَمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ - أُولَئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ 

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al Kitab sebelum Al Quran, mereka beriman (pula) dengan Al Quran itu. Dan apabila dibacakan (Al Quran itu) kepada mereka, mereka berkata: "Kami beriman kepadanya; sesungguhnya; Al Quran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya). Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan.” (QS. Al-Qosos: 52-54) 

Dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abi Musa, bahwasanya Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda: 

ثلاثة يؤتون أجرهم مرتين : رجل من أهل الكتاب آمن بنبيه وآمن بي ، ورجل مملوك أدى حق الله وحق مواليه ، ورجل أدب جاريته فأحسن تأديبها ثم أعتقها وتزوجه 

“ada tiga orang yang akan mendapat pahala dua kali : pertama seorang lelaki ahlu kitab yang beriman kepada Nabinya dan kepadaku, kedua seorang hamba sahaya yang memenuhi hak Allah dan hak tuannya, dan ketiga seorang laki-laki yang mengurus budak perempuannya dengan sebaik-baik pengurusan lalu kemudian dia memerdekakannya dan menikahinya” (HR. BUKHORI-MUSLIM) 

Ibnu katsir mengatakan, pendapat yang benar dari tiga pendapat diatas adalah pendapat Mujahid yang mengatakan bahwa empat ayat pertama dari surat Al-baqoroh menyifati orang-orang yang beriman, dan dua ayat berikutnya (enam dan tujuh) menyifati orang-orang kafir, dan tiga belas ayat setelahnya menyifati orang-orang munafik. 

Keempat ayat awal itu menyifati orang-orang beriman secara umum baik orang-orang beriman dari kalangan bangsa arab maupun selainnya dari kalangan ahli kitab baik umat manusia dan jin. Salah satu sifat ini tidak akan bisa sempurna tanpa ada sifat-sifat yang lainnya. Bahkan masing-masing sifat saling menuntut adanya sifat yang lainnya. Dengan demikian, iman kepada yang ghaib, shalat dan zakat tidak shohih kecuali jika ada keimanan kepada apa yang dibawa oleh rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam, juga apa yang dibawa oleh para Rosul sebelumnya serta keyakinan akan adanya kehidupan akhirat. Dan Allah juga telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk memenuhi hal tersebut melalui firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا 

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."'(QS. An-nisa : 136) 

Dan Allah telah menyebutkan tentang orang-orang yang beriman secara umum kesuluruhan yang memenuhi semuanya itu melalui firman-Nya : 

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ 

"Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya (QS. Al-Baqoroh : 285) 

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang memerintahkan supaya beriman kepada Allah, rosul-rosul-Nya, dan kitab-kitab-Nya, khususnya orang mukmin dari kalangan ahlu kitab karena mereka beriman kepada apa yang ada ditangan mereka secara terperinci. Maka jika mereka masuk islam dan beriman kepadanya secara terperinci, mereka akan mendapatkan pahala dua kali.


أُو۟لَٰٓئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ 

Arab-Latin: Ulā`ika 'alā hudam mir rabbihim wa ulā`ika humul-mufliḥụn 

Terjemah Arti: Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia Orang-orang yang memiliki sifat-sifat ini berada diatas cahaya dari Robb mereka dan Taufik dari Tuhan pencipta dan pemberi hidayah bagi mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung yang berhasil menggapai apa yang mereka inginkan dan selamat dari keburukan yang mereka melarikan diri darinya. Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) 

5. Orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut kokoh dalam mengikuti jalan kebenaran. Merekalah orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat, sebab mereka akan mendapatkan apa yang mereka harapkan dan selamat dari apa yang mereka takutkan. 

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah

5. أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ Yakni Mereka yang pada diri mereka ketakwaan, iman kepada hal-hal yang ghaib, dan ketaatan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban maka mereka berada diatas cahaya dari Rabb mereka. وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Yakni mereka adalah orang-orang yang berhasil mendapatkan apa yang mereka harapkan dari Allah Ta’ala dengan amalan-amalan dan iman mereka kepada Allah Ta’ala, kitab-kitabNya dan rasul-rasul-Nya.

Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas Qashim - Saudi Arabia 

Ibnul Qoyyim berkata : "Allah ta'ala jika menyebutkan dalam al-qur'an kata ( الفلاح ) yang berarti kemenangan, Dia senantiasa menghubungkannya dengan perbuatan orang-orang yang menang. Untuk memperjelas perkataan beliau perhatikan awal surah al-Baqarah; sesungguhnya Allah telah menyebutkan sebab kemenangan orang-orang yang bertaqwa, yaitu keimanan mereka kepada yang ghaib, mereka senantiasa mendirikan shalat, dan mengeluarkan harta mereka dijalan Allah dari apa yang telah Allah rezekikan kepada mereka, dan sifat-sifat mereka yang lainnya, dan semua itu adalah merupakan amalan-amalan yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang menang. 

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah 

Semua orang yang digambarkan dengan ciri-ciri tersebut adalah orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang mengimani sesuatu yang ghaib dan melaksanakan kewajiban. Merekalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan bimbingan, orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat dan selamat dari neraka 

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi 

Allah mengabarkan bawasanya mereka yang bertaqwa mereka disifati dengan sifat-sifat terpuji yang selalu di atas petunjuk dan cahaya dari Rabb mereka, dan mereka adalah orang-orang yang selamat dengan diberikan kenikmatan oleh Allah di akhirat. Dan keselamatan yang disebutkan pada ayat ini maknanya adalah (dikatakan) : Kemenangan dan keberhasilan yang di minta, dan selamat di akhirat dari adzab Allah, dan di katakan juga maknya adalah : tetapnya suatu keabadian dalam kenikmatan. Ayat ini adalah lima ayat awal-awal yang datang dalam penyebutan sifat mereka yang beriman dan bertaqwa. Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 

5. “Mereka itulah, ” yaitu yang bersifat dengan sifat-sifat terpuji tersebut “yang tetap mendapat petunjuk dari tuhan mereka, ” yakni yang tetap di atas petunjuk yang besar; karena pemakaian kata yang tidak terbatas (nakirah) adalah untuk ungkapan mengagungkan. Dan hidayah apalagi yang lebih agung dari sifat-sifat yang telah disebutkan yang mengandung keyakinan yang benar dan perbuatan-perbuatan yang lurus? 

Pada hakikatnya hidayah itu hanya seperti hidayah yang ada pada mereka tersebut, sedangkan apa-apa yang bertentangan dengan itu adalah kesesatan. Dan dipakai kata (di atas) dalam posisi kalimat disini menunjukkan pada ketinggian, adapun dalam posisi kata kesesatan memakai kata (di dalam). Hal itu karena ahli hidayah adalah tinggi dengan hidayah tersebut adapun ahli kesesatan yang tenggelam didalamnya adalah terhina. Kemudian Allah berfirman, “Dan merekalah orang-orang yang beruntung”. Keberuntungan adalah memperoleh hal yang diinginkan dan selamat dari hal yang dikhawatirkan. Pembatasan keberuntungan hanya pada mereka, kareena tidak ada jalan menuju kepada keberuntungan kecuali dengan menempuh jalan mereka tadi, dan jalan-jalan selain jalan tersebut, maka itu semua adalah jalan kesengsaraan, kehancuran, dan kerugian yang akan menjerumuskan penempuhnya kepada kebinasaan. Oleh karena itu, ketika Allah menyebutkan sifat-sifat kaum Mukminin yang hakiki, dia menyebutkan pula sifat-sifat kaum kafir yang menampakkan kekufuran mereka yang durhaka kepada Rosul.

Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabaw

Makna kata : أُوْلَٰٓئِكَ عَلَىٰ هُدٗى مِّن رَّبِّهِمۡ Uulaaika ‘ala hudan min robbihim maknanya isyarat kepada golongan yang memiliki lima sifat yang disebutkan sebelumnya dan pemberitaan bahwasanya mereka tetap dalam keistiqomahan dengan petunjuk dari Allah berupa keimanan dan amalan sholih, di atas jalannya Allah yang mengantarkan kepada keberuntungan. وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ Wa ulaaika humul muflihuun artinya isyarat kepada golongan yang mendapatkan hidayah sempurna serta pemberitaan bahwa mereka adalah golongan yang beruntung, layak untuk mendapat kemenangan untuk masuk surga setelah selamat dari neraka. Makna ayat : Kemudian Allah mengabarkan bahwa mereka dalam petunjuk yang sempurna dari Rabbnya, dan mereka orang-orang yang beruntung di dunia dengan kesucian dan ketenangan, sedangkan di akhirat beruntung karena masuk ke dalam surga setelah sebelumnya selamat dari neraka. Pelajaran dari ayat : Seruan kepada kaum mukminin dan motivasi untuk mereka agar memiliki sifat golongan yang mendapat hidayah dan keberuntungan, agar menempuh jalan yang mereka lalui sehingga mendapatkan hidayah dan beruntung di dunia dan akhirat. 

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I 

Yakni orang-orang yang memiliki sifat-sifat di atas. Mereka berjalan di atas cahaya dari Tuhan mereka dan taufiq-Nya. Ialah orang-orang yang mendapat apa-apa yang dimohonkannya kepada Allah sesudah mengusahakannya dan selamat dari sesuatu yang mereka khawatirkan atau orang-orang yang akan memperoleh surga dan selamat dari neraka. Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI Mereka yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana disebutkan itulah yang mendapat petunjuk dari tuhannya, berada pada posisi yang sangat mulia dan agung, sebab mereka menaati semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, dan hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung memperoleh apa yang mereka inginkan, yaitu kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat dengan dimasukkan ke dalam surga dan terbebas dari neraka. Sebagai kebalikan dari sikap orang mukmin terhadap Al-Qur'an, sesungguhnya orang-orang kafir yang menutupi hati dan akal pikiran mereka dari kebenaran karena enggan dan sombong, tidak akan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan, berupa ancaman siksa dari tuhanmu, atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman sebab mereka lebih memilih jalan kebatilan. 

Tafsir Tematis / Team Asatidz Tafsir Web

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan kepada kita balasan pahala untuk orang-orang yang bertaqwa yang sifat-sifatnya telah disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya dalam awal surat Al-Baqoroh, Mereka adalah yang mempunyai sifat-sifat berikut ini : - iman kepada yang gaib, - mendirikan sholat - memberi nafkah dari rizki yang diberikan Allah kepada mereka - iman kepada kitab yang diturunkan kepada Rosululloh Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya - yakin akan adanya kehidupan ahirat sehingga mereka mempersiapkan diri berbekal untuk menghadapinya dengan mengerjakan amal-amal saleh dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Balasan yang akan Allah berikan kepada mereka adalah diberikannya cahaya petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menggolongkan mereka kedalam golongan orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Muhammad Bin Ishaq mengatakan dari Muhammad Bin Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Said Ibnu Jubair. Dari Ibnu Abbas bahwa makna dari ayat ini ialah mereka akan tetap memperoleh cahaya dari Tuhan mereka dan tetap istiqomah (berpegang teguh) kepada Alquran yang disampaikan kepada mereka dan mereka adalah orang-orang yangberuntung yang memperoleh apa yang mereka minta dan selamat dari kejahatan yang mereka minta terhindar darinya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna dari ayat ini adalah “sesungguhnya mereka tetap memperoleh cahaya dari tuhannya, pembuktian, istiqomah dan bimbingan serta taufiq-Nya dalam menjalani kehidupan di dunia ini dan mereka adalah orang-orang yang sukses dan memperoleh apa yang mereka dambakan di sisi Allah melalui amal sholeh yang mereka kerjakan dan iman mereka kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rosul-rosul-Nya; dambaan tersebut berupa keberuntungan memperoleh pahala, kekekalan di surga dan selamat dari api neraka dan siksaan-siksaan yang ada di dalamnya”. Telah dinukil sebuah riwayat dari Mujahid, Abul Aliyah dan Ar-Rabi’ ibnu Anas, Qotadah dan Ibnu hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Sholeh Al-Misri, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan lepada kami Ibnu Luhai’ah, telah menceritakan kepada kami Abdulloh Ibnul Mughiroh dari Abul Hisyam yang nama aslinya adalah Sulaiman Ibnu Abdullah dari Abdullah Ibn Amr dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam: 

عن النبي صلى الله عليه وسلم وقيل له : يا رسول الله ، إنا نقرأ من القرآن فنرجو ، ونقرأ من القرآن فنكاد أن نيأس ، أو كما قال . قال : فقال : أفلا أخبركم عن أهل الجنة وأهل النار ؟ . قالوا : بلى يا رسول الله . قال : ( الم ذلك الكتاب لا ريب فيه ) إلى قوله تعالى :( المفلحون ) هؤلاء أهل الجنة . قالوا : إنا نرجو أن نكون هؤلاء . ثم قال : ( إن الذين كفروا سواء عليهم ) إلى قوله : ( عظيم ) هؤلاء أهل النار . قالوا : لسنا هم يا رسول الله . قال : أجل . 

"Pernah dikatakan kepad Rosululloh Shallallahu 'alaihi wa Sallam, “wahai Rosululloh, sesungguhnya kami tetap membaca alquran. Lalu kami berdo’a, dan kami tetap membaca Alquran hingga hamper saja kami putus asa”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda “maukah kalian aku beritahukan penduduk surga dan penduduk neraka?” Mereka menjawab, “tentu saja kami mau, wahai Rosululloh.” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam membacakan firman-Nya : الم ذلك الكتاب لا ريب فيه …….إلى قوله تعالى :…… المفلحون “alif lam mim. Kitab (alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” Sampai dengan firman-Nya, “orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Baqoroh :1-5) 

Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “merekalah penduduk surga”. Para sahabat berkata “sesungguhnya kami mengharap semoga kami termasuk dari mereka”. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam membacakan firman-Nya: 

إن الذين كفروا سواء عليهم …. إلى قوله : عظيم 

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,” sampai firman-Nya “Siksaan yang amat berat” (QS. Al-Baqoroh :7-8) 

Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “mereka adalah penduduk neraka”. Kemudia para sahabat berkata, “wahai Rosululloh, tentunya kami bukan termasuk mereka.” Beliau menjawab, “Ya.”


Quran Surat Al-Baqarah Ayat 6 

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ 

Arab-Latin: Innallażīna kafarụ sawā`un 'alaihim a anżartahum am lam tunżir-hum lā yu`minụn 

Terjemah Arti: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu karena kesombongan dan kesewenangan, keimanan tidak akan terjadi dari mereka baik engkau -wahai Rasul- telah menakuti dan memperingatkan mereka dari siksa Allah, ataupun engkau tidak melakukan itu, karena mereka terus menerus berada di atas kebatilan mereka. 

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) 

6. "Sesungguhnya orang-orang kafir itu larut dalam kesesatan dan pembangkangan mereka, maka ada atau tidak adanya peringatanmu kepada mereka akan sama saja". 

Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah 

6-7. Allah mengabarkan bahwa orang-orang yang mendustakan Dia dan rasul-Nya tidak akan dapat dinasehati dan dicegah dari perbuatannya tersebut karena kesombongan dan kebodohan mereka. Dan ini adalah alasan dari keinginan besar nabi agar mereka beriman, sebab mereka tetap dalam kekafiran baik itu jika mereka diberi nasehat dan dakwah maupun jika mereka dibiarkan begitu saja, hal ini karena Allah telah menutup hati mereka sehingga tidak dapat dimasuki dan ditembus oleh keimanan, sehingga mereka tidak dapat mengerti apa yang bermanfaat bagi mereka; pendengaran mereka juga ditutup sehingga tidak dapat mendengar apa yang berfaidah bagi mereka; dan Allah menjadikan penghalang pada penglihatan mereka yang menghalangi mereka dari melihat hal yang bermanfaat. Ini semua merupakan hukuman bagi mereka di dunia, sedangkan di akhira mereka akan mendapatkan azab yang pedih. 

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 

6. إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ 

"Yakni orang-orang yang bersikeras dalam mengingkari risalah yang engkau bawa wahai Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan mengingkari ayat-ayat yang, padahal kebenaran begitu jelas tanpa dihalangi oleh syubhat dan keyakinan mereka bahwa kau ada dalam kebenaran; maka peringatanmu kepada mereka tidak aka ada manfaatnya karena mereka seseungguhnya mengikuti hawa nafsu mereka."

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah

Sesungguhnya tidak akan berguna sedikitpun peringatanmu wahai Muhammad bagi orang-orang yang bersikeras atas kekufuran dan keingkaran mereka terhadap keesaan Allah dan risalahmu. Sama saja jika kau memperingatkan dan menakut-nakuti mereka, mereka tetap tidak akan membenarkan risalahmu. Sungguh panutan mereka adalah hawa nafsu mereka 

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi 

6-7. Allah mengabarkan bahwa mereka orang-orang kafir tidak beriman, dan yang pastinya tidak seluruh orang kafir, dan yang dimaksud adalah ketika turun kedua ayat ini maka orang-orang kafir terbagi menjadi dua golongan. 

Golongan pertama : sebagian dari para pembesar quraisy seperti abu jahl dan abu lahab, dan yang lainnya yang mereka membenci tauhid dan seruan kepadanya, mereka menolak dan menyiksa orang-orang yang berislam, mereka memaksa agar kaum muslimin hijrah ke habasyah, mereka berkata : Apakah kalian ingin menjadikan tuhan menjadi tuhan yang satu?, Sungguh ini adalah perkara yang mengherankan. (Shod : 5). 

Mereka juga berkata : Kami tidak akan beriman dengan Al-Qur’an ini dan tidak juga kepada apa yang di hadapannya. (Saba : 31), yaitu dengan kerisalahan yang sebelumnya, telah sampai kepada mereka sehingga mereka membenci dan dendam sembari berkata : Wahai Rabb, kalau memang ini adalah sebuah kebenaran dari sisimu maka turunkanlah hujan batu dari langit atau datangkan kepada kami adzab yang pedih. (Al Anfal : 32); Padahal Allah telah menciptakan mereka di atas fitrah, dan Allah jadikan mereka dapat memilih sebagaimana manusia yang lain, akan tetapi mereka lebih memilih kesesatan dan tetap di atas kekafiran, maka janganlah engkau wahai Nabi Allah takut karena mereka tidak akan beriman selamanya, oleh sebab itu Allah menutup hati mereka, pandangan mereka dan telinga mereka, terkuncinya mereka ini sebagai balasan dan tidak hanya sekali mereka demikian. 

Golongan yang kedua mereka adalah yang beriman akan tetapi murtad dan munafik, Allah berfirman akan mereka : Itulah mereka yang telah beriman kemudian kafir maka dikuncilah hati mereka. (Al Munafikun : 3). 

Adapun orang-orang kafir yang lain, maka mereka tergantung akan sampainya dakwah (kepada mereka). Dan bukti yang bahwasanya waktu turun pada kedua kafir yang telah disebutkan sebelumnya adalah bahwasanya seluruh orang-orang kafir dan yang disekitar mereka masuk islam setelah fathul mekkah dan setelah diperangi oleh muhajirin dan anshar untuk menegakkan kalimat Allah; Bahkan di antara mereka orang-orang kafir ada yang masuk islam kemudian menjadi panglima perang semisal Khalid bin Walid, Amr bin Ash dan selain dari mereka. Kemudian Allah menutup ayat ini dengan dikabarkan bahwa tempat kembali bagi kedua kelompok kafir ini adalah kepada adzab yang pedih pada hari kiamat yang tidak ada yang mengetahui dahsyatnya kecuali hanya Allah saja. Dan tidak diragukan bahwasanya bagi siapa saja yang disifati dengan sifat sebagaimana dua golongan kafir ini maka dia semisal dengan mereka dan hukumannya sebagaimana mereka. 

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 6. 

Allah ta’ala mengabarkan, ”sesungguhnya orang-orang kafir”, yakni mereka yang bersifat dengan kekufuran dan terwarnai dengannya, lalu menjadi sifat yang lazim bagi mereka, dimana tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi mereka darinya; nasihat tidak berguna bagi mereka dan mereka selalu tetap dalam kekufuran mereka, maka sama saja bagi mereka “kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman”. 

Hakikat kekufuran adalah mengingkari sesuatu yang datang dari Rosul atau mengingkari sebagiannya. Tidak akan ada manfaatnya dakwah bagi orang-orang kafir itu, kecuali hanya sebatas menegakkan hujjah atas mereka, seolah-olah dalam hal ini hanya pemutus bagi keinginan kuat Rosulullah dalam mewujudkan keimanan mereka, dan bahwasanya kamu jangan bersedih hati untuk mereka, dan bahwasanya dirimu tidak boleh berputus asa terhadap mereka. Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan beberapa penghalang yang menghalangi mereka dari keimanan. 

Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi 

Makna kata : كَفَرُواْ : Al-Kufru secara bahasa adalah penyelubungan dan penolakan. Adapun secara syariat adalah mendustakan Allah atau syariat yang dibawa oleh rasulNya baik sebagian atau keseluruhan. سَوَآءٌ maknanya adalah sama saja mau diperingatkan ataupun tidak, karena tidak ada faidahnya. Sebab Allah sudah memutuskan untuk tidak memberikan hidayahNya kepada mereka. ءَأَنذَرۡتَهُمۡ : Al-Indzaar artinya ancaman terhadap balasan dari kekufuran, kedzaliman, dan kerusakan di muka bumi. Makna ayat : Setelah Allah menyebutkan tentang orang-orang mukmin, bertakwa, lagi mendapatkan hidayah serta keberuntungan, dilanjutkan dengan menyebutkan tentang golongan orang-orang kafir, sesat, lagi merugi dalam firmanNya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir...” Allah Ta’ala mengabarkan bahwa mereka tidak siap untuk beriman sampai-sampai mau diperingatkan ataupun tidak hasilnya tetap sama saja Pelajaran dari ayat : 

1. Penjelasan mengenai sunnatullah bagi orang-orang yang menentang, sombong, dan terus menerus dalam kekufurannya bahwa Allah mengharamkan hidayah bagi mereka, dengan cara melumpuhkan panca inderanya yang mengakibatkan mereka tidak dapat mengambil manfaat, dan pada akhirnya mereka tidak beriman dan tidak mendapat petunjuk 

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I

Yakni orang-orang yang mengingkari apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Baik engkau memperingatkan mereka dengan azab Allah atau pun tidak. Kepada mereka hanyalah ditegakkan hujjah agar mereka tidak dapat beralasan lagi di hadapan Allah Ta'ala pada hari kiamat. 

Sebagai kebalikan dari sikap orang mukmin terhadap Al-Qur'an, sesungguhnya orang-orang kafir yang menutupi hati dan akal pikiran mereka dari kebenaran karena enggan dan sombong, tidak akan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan, berupa ancaman siksa dari tuhanmu, atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman sebab mereka lebih memilih jalan kebatilan. Karena mereka ingkar dengan menutup diri dari kebenaran, maka seakan Allah telah mengunci hati mereka dengan sekat yang tertutup rapat sehingga nasihat atau hidayah tersebut tidak bisa masuk ke dalam hati mereka, dan pendengaran mereka juga seakan terkunci, sehingga tidak mendengar kebenaran dari Allah. Demikian pula penglihatan mereka telah tertutup, sehingga tidak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang dapat mengantarkan kepada keimanan, dan sebagai akibatnya, mereka akan mendapat azab yang berat.


[Quran Surat Al-Baqarah Ayat 7 

خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰٓ أَبْصَٰرِهِمْ غِشَٰوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ 

Arab-Latin: Khatamallāhu 'alā qulụbihim wa 'alā sam'ihim, wa 'alā abṣārihim gisyāwatuw wa lahum 'ażābun 'aẓīm 

Terjemah Arti: Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka dan menjadikan penutup pada pandangan mereka, disebabkan kekafiran dan penolakan keras mereka setelah jelas kebenaran bagi mereka, maka Allah tidak memberikan Taufik bagi mereka untuk mendapat Hidayah dan bagi mereka akan mendapatkan siksaan yang keras di neraka jahanam. 

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) 

7. Karena Allah telah menyegel dan menutup hati mereka beserta kebatilan yang ada di dalamnya. Allah juga menutup telinga mereka sehingga tidak bisa mendengarkan kebenaran untuk diterima dan diikuti. Allah juga menutup mata mereka sehingga tidak bisa melihat kebenaran yang sangat jelas di hadapan mereka. Kelak di akhirat mereka akan mendapatkan azab yang sangat berat. 

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 

7.خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ 

Yakni mereka adalah orang-orang yang tidak memahami makna hidayah dan tidak mau mendengarkan apa yang bermanfaat bagi mereka yang disebabkan kebencian mereka terhadap kebenaran dan terhadap orang yang membawa kebenaran. وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ Yakni penutup yang menghalangi menglihatan mereka untuk melihat kebenaran. Ibnu jarir berkata: sesungguhnya dosa-dosa itu jika dilakukan terus menerus maka akan menutup hati, sehingga tertutup jalannya dan kekufuran yang ada didalamnya tidak bisa keluar. 

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah 

Allah telah mengunci hati mereka dengan kekafiran mereka keimanan tidak berlaku bagi hati mereka. Mereka tidak mau mendengarkan kebenaran, melihat petunjuk, dan berpikir. Dan bagi mereka azab yang amat sangat pedih. 

Asbabun Nuzul (Penyebab turun) dua ayat ini sebagaimana Ath-Thabari mengatakan dari Ibnu Abbas dan Al-Kalbi bahwa kedua ayat tersebut turun di Romawi Yahudi, di antara mereka yang menyaksikan turunnya dua ayat ini adalah Hayy bin Akhthab dan Ka’b bin Asyraf 

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi 

Allah mengabarkan bahwa mereka orang-orang kafir tidak beriman, dan yang pastinya tidak seluruh orang kafir, dan yang dimaksud adalah ketika turun kedua ayat ini maka orang-orang kafir terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama : sebagian dari para pembesar quraisy seperti abu jahl dan abu lahab, dan yang lainnya yang mereka membenci tauhid dan seruan kepadanya, mereka menolak dan menyiksa orang-orang yang berislam, mereka memaksa agar kaum muslimin hijrah ke habasyah, mereka berkata : Apakah kalian ingin menjadikan tuhan menjadi tuhan yang satu?, Sungguh ini adalah perkara yang mengherankan. (Shod : 5). 

Mereka juga berkata : Kami tidak akan beriman dengan Al-Qur’an ini dan tidak juga kepada apa yang di hadapannya. (Saba : 31), yaitu dengan kerisalahan yang sebelumnya, telah sampai kepada mereka sehingga mereka membenci dan dendam sembari berkata : Wahai Rabb, kalau memang ini adalah sebuah kebenaran dari sisimu maka turunkanlah hujan batu dari langit atau datangkan kepada kami adzab yang pedih. (Al Anfal : 32)

Padahal Allah telah menciptakan mereka di atas fitrah, dan Allah jadikan mereka dapat memilih sebagaimana manusia yang lain, akan tetapi mereka lebih memilih kesesatan dan tetap di atas kekafiran, maka janganlah engkau wahai Nabi Allah takut karena mereka tidak akan beriman selamanya, oleh sebab itu Allah menutup hati mereka, pandangan mereka dan telinga mereka, terkuncinya mereka ini sebagai balasan dan tidak hanya sekali mereka demikian. Golongan yang kedua mereka adalah yang beriman akan tetapi murtad dan munafik, Allah berfirman akan mereka : Itulah mereka yang telah beriman kemudian kafir maka dikuncilah hati mereka. (Al Munafikun : 3). 

Adapun orang-orang kafir yang lain, maka mereka tergantung akan sampainya dakwah (kepada mereka). Dan bukti yang bahwasanya waktu turun pada kedua kafir yang telah disebutkan sebelumnya adalah bahwasanya seluruh orang-orang kafir dan yang disekitar mereka masuk islam setelah fathul mekkah dan setelah diperangi oleh muhajirin dan anshar untuk menegakkan kalimat Allah; Bahkan di antara mereka orang-orang kafir ada yang masuk islam kemudian menjadi panglima perang semisal Khalid bin Walid, Amr bin Ash dan selain dari mereka. Kemudian Allah menutup ayat ini dengan dikabarkan bahwa tempat kembali bagi kedua kelompok kafir ini adalah kepada adzab yang pedih pada hari kiamat yang tidak ada yang mengetahui dahsyatnya kecuali hanya Allah saja. Dan tidak diragukan bahwasanya bagi siapa saja yang disifati dengan sifat sebagaimana dua golongan kafir ini maka dia semisal dengan mereka dan hukumannya sebagaimana mereka. 

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 

7. "Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, ” yakni menutupnya dengan penutup yang tidak dapat dimasuki oleh keimanan dan tidak bisa ditembus, sehingga mereka tidak memahami apa yang berguna bagi mereka dan apa-apa yang mereka dengarkan tidak bermanfaat untuk mereka, ”dan penglihatan mereka ditutup, ” yakni pelapis, penutup, dan penghalang yang menghalangi mereka dari melihat yang berguna bagi mereka, dan jalan-jalan ilmu dan kebaikan telah ditutup bagi mereka, tidak ada keinginan pada mereka dan tidak ada kebaikan yang diharapkan pada meeka. Mereka telah dihalangi dan ditutup dari pintu-pintu keimanan, disebabkan oleh kekufuran dan pengingkaran mereka serta keras kepala mereka setelah jelas bagi mereka kebenaran itu. Sebagaimana firman Allah : "Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat" (QS. Al-'An'am : 110) 

Dan ini hanyalah hukuman yang sekarang, kemudian Allah menyebutkan hukuman yang akan datang seraya berfirman, ”dan bagi mereka siksa yang amat pedih” yakni azab api neraka, kemurkaan yang Mahaperkasa yang terus menerus dan selamanya. 

Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabaw

Makna kata : خَتَمَ ٱللَّهُ maknanya mengunci mati, karena al-Khotaam dan ath-Thoba’ memiliki arti yang sama yaitu melakukan stempel pada amplop sehingga tidak diketahui isinya, dan tidak bisa dibuka sehingga dapat diganti atau dirubah. غِشَٰوَةٞۖ Al-Ghisyaawah artinya adalah penutup yang membuat sesuatu menjadi tertutupi sehingga tidak ada sesuatu pun yang dapat menyentuhnya. Makna ayat : Hal itu karena sudah berlaku ketetapan Allah untuk mereka dengan dikunci mati hatinya sampai tidak bisa berfikir, pada telinganya sehingga tidak mendengar, dan dijadikan penutup pada matanya sampai-sampai tidak bisa melihat. Itulah hasil dari kesombongan, penolakan, dan konsistensi mereka dalam kekufuran. Oleh karena itu mereka berhak mendapatkan adzab yang pedih. Inilah hukum Allah bagi orang-orang yang menentang, sombong, lagi konsisten dalam kekufurannya di setiap waktu dan tempat. Pelajaran dari ayat : 

2. Peringatan agar tidak terus menerus dalam kekufuran, kedzaliman, dan berbuat kerusakan di muka bumi agar tidak mendapat adzab yang pedih. 

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I 

Yakni orang itu tidak dapat menerima petunjuk, dan segala macam nasehat tidak akan berbekas kepadanya disebabkan kekafiran dan kerasnya hati mereka setelah nampak kebenaran bagi mereka. Oleh karena itu, Allah tidak memberi mereka taufiq untuk mengikuti petunjuk itu. Maksudnya: mereka tidak dapat memperhatikan dan memahami ayat-ayat Al Quran yang mereka dengar dan tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan bumi dan pada diri mereka sendiri. Sarana-sarana untuk memperoleh petunjuk dan kebaikan telah ditutup bagi mereka. Ini merupakan hukuman yang disegerakan dan hukuman yang akan datang kepada mereka adalah azab yang sangat pedih berupa azab neraka dan kemurkaan Allah Ta'ala. 

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI 

Karena mereka ingkar dengan menutup diri dari kebenaran, maka seakan Allah telah mengunci hati mereka dengan sekat yang tertutup rapat sehingga nasihat atau hidayah tersebut tidak bisa masuk ke dalam hati mereka, dan pendengaran mereka juga seakan terkunci, sehingga tidak mendengar kebenaran dari Allah. Demikian pula penglihatan mereka telah tertutup, sehingga tidak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang dapat mengantarkan kepada keimanan, dan sebagai akibatnya, mereka akan mendapat azab yang berat. 

Dan selanjutnya disebutkan kelompok manusia yang ketiga dalam menyikapi kebenaran petunjuk Al-Qur'an, yaitu di antara manusia yang ingkar seperti disebut sebelumnya ada sekelompok orang yang mengatakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lahir dari dalam hati nurani. Mereka berkata, kami hanya beriman kepada Allah dengan segala keagungan-Nya dan kami juga beriman kepada hari akhir yang diingkari oleh orang-orang kafir, padahal sesungguhnya mereka itu tidak jujur dalam mengatakan itu sehingga mereka bukanlah termasuk golongan orang-orang yang beriman. Kelompok ketiga ini jauh lebih berbahaya daripada yang secara terang-terangan menolak (kafir), sebab mereka menampakkan diri seperti kawan padahal sesungguhnya mereka adalah lawan.

Tags