Surat Al-Balad adalah surat makiyyah, yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam sebelum beliau berhijrah ke kota Madinah. Para ulama menjelaskan hubungan antara surat Al-Balad dengan Surat Al-Fajr. Adapun pada surat Al-Fajr Allah menyebutkan beberapa amalan-amalan yang menyebabkan orang kafir masuk neraka jahannam. Allah berfirman:
كَلَّا ۖ بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (17) وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ (18) وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا (19) وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا (20)
“(17) Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim ; (18) Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin ; (19) Sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampur-baurkan (yang halal dan yang haram) ; (20) Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS Al-Fajr : 17-20)
Sedangkan pada surat Al-Balad Allah menyebutkan beberapa amalan-amalan yang menyebabkan orang beriman masuk surga. Allah berfirman:
فَكُّ رَقَبَةٍ(13) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14) يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ (15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ (16)
“(13) (Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya) ; (14) Atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan ; (15) (Kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat ; (16) Atau orang miskin yang sangat fakir.” (QS Al-Balad : 13-16)
Inilah hubungan antara Surat Al-Fajr dan Al-Balad, yang satu menyebutkan amalan-amalan penghuni neraka satunya amalan-amalan penghuni surga.
Allah berfirman pada permulaan surat:
1. لَا أُقْسِمُ بِهَٰذَا الْبَلَدِ
“Aku bersumpah dengan negeri ini (Mekah)”
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan negeri disini adalah kota Mekkah. Namun para ulama khilaf (silang pendapat) makna laa pada awal ayat ini. Pendapat pertama mengatakan laa disini adalah untuk membantah, seakan-akan Allah membantah persangkaan orang-orang musyrik yang mengatakan tidak ada hari kebangkitan, lalu Allah melanjutkan bersumpah dengan Mekah bahwasanya hari kiamat itu benar adanya. Yaitu seakan-akan Allah berkata “Tidak benar persangkaan kalian wahai kaum musyrikin bahwa tidak ada hari kiamat, sungguh Aku bersumpah dengan kota ini”
Pendapat kedua mengatakan laa disini bermakna tidak, seakan-akan Allah tidak bersumpah dengan kota Mekah karena adanya hari kebangkitan tidak butuh dengan sumpah. Adanya hari kebangkitan merupakan perkara yang sangat jelas sehingga tidak butuh bersumpah dengan kota Mekkah.
Pendapat ketiga mengatakan laa disini laa zaidah (tambahan)1 yang maksudnya untuk menguatkan. Artinya Allah benar-benar bersumpah dengan kota Mekah. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh para salaf dan inilah yang lebih benar. Dalam bahasa Arab kata laa sering digunakan untuk penekanan. Seperti firman Allah kepada iblis:
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“(Allah) berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?’ (Iblis) menjawab, ‘Aku lebih baik daripada dia, Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.’” (QS Al-A’raf : 12)
Dan di ayat lain yang mirip dengan ayat di atas, Allah berfirman:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْعَالِينَ
“(Allah) berfirman, ‘Wahai iblis, apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu (merasa) termasuk golongan yang (lebih) tinggi?’” (QS Shad : 75)
Di ayat pertama Allah menggunakan laa tetapi di ayat kedua Allah tidak menggunakan laa, padahal maksud yang diinginkan sama. Dari sini dapat disimpulkan penggunaan laa pada ayat pertama adalah untuk penekanan. Contoh lain bisa dijumpai pada firman Allah:
لِّئَلَّا يَعْلَمَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَلَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّن فَضْلِ اللَّهِ ۙ
“Agar ahli kitab mengetahui bahwa sedikitpun mereka tidak akan mendapat karunia Allah.” (QS Al-Hadid : 29)
Bentuk yang persis mirip dengan ayat pertama surat Al-Balad ini bisa dijumpai pada firman Allah:
۞ فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ(75) وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ
“(75) Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang; (76) Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui.” (QS Al-Waqi’ah : 75-76)
Oleh karena itu, pendapat yang terkuat dari tiga pendapat tadi bahwasanya laa disitu adalah laa zaidah untuk penekanan, bahwasanya Allah benar-benar bersumpah dengan kota Mekah.
Kota Mekah adalah kota mulia yang aman lagi suci. Allah juga bersumpah dengan kota Mekah di ayat yang lain:
وَهَٰذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ
“Dan demi negeri (Mekah) yang aman ini.” (QS At-Tin : 3)
Mekah juga merupakan salah satu dari dua tanah suci, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ
“Sesungguhnya Nabi Ibrahim menjadikan kota Mekah sebagai kota haram, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah sebagai kota yang haram juga.” (HR Muslim no. 1362)
Diantara keistimewaan dari kota Mekah yang tidak dimiliki oleh kota-kota yang lain adalah barangsiapa yang berniat buruk di kota Mekah maka terancam dengan azab yang pedih, bahkan ketika niat itu baru muncul di dalam hatinya. Allah berfirman:
وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” (QS Al-Hajj : 25)
Inilah salah satu kekhususan kota Mekah yang tidak terdapat pada kota-kota lainnya. Barangsiapa yang menginginkan, berkehendak, bertekad, atau berniat untuk melakukan keburukan di kota Mekah maka dia terancam dengan adzab yang pedih. Kata para ulama meskipun dia tatkala berniat buruk sedang sedang berada di Shan’a (di Yaman) dan belum di Mekah. Apalagi berniat buruknya tatkala di Mekah.
Kemudian Allah berfirman:
2. وَأَنتَ حِلٌّ بِهَٰذَا الْبَلَدِ
“Dan engkau (Muhammad) bertempat di negeri (Mekah) ini”
Ada tiga pendapat di kalangan ahli tafsir tentang maksud “dan engkau halal di kota (Mekah) ini.” Pendapat pertama mengatakan ayat ini bermakna “lebih-lebih engkau berada di kota Mekah ini”, sehingga Allah berhak bersumpah dengan kota Mekah, lebih-lebih Nabi Muhammad berada di kota tersebut.
Pendapat kedua mengatakan ayat ini bermakna “dan engkau dihalalakan darahnya oleh orang-orang kafir Quraisy di kota Mekah ini”, sehingga seakan-akan Allah bersumpah untuk mengingkarinya. Sebagaimana sayembara yang pernah dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy bagi yang berhasil menangkap Nabi Muhammad atau Abu Bakar masing-masing akan diberi serratus ekor unta.
Pendapat ketiga dan inilah pendapat yang kuat mengatakan ayat ini bermakna “dan kota suci Mekah halal bagi engkau”. Maksudnya adalah dibolehkan bagi Nabi untuk berperang di kota Mekah. Ini terjadi ketika Fathu Makkah (penaklukan kota Mekah) pada tahun 8 H tatkala Nabi menyerang kota Mekah. Pada asalnya dilarang berperang dan menumpahkan darah di kota Mekah dan hal inipun diketahui oleh orang-orang musyrikin Quraisy, namun pada saat Fathu Makkah maka Allah menghalalkan bagi Nabi shallallahu álaihi wasallam untuk memerangi kaum musyrikin di Mekah. Karenanya Nabi shalallahu álaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk membunuh Ibnu Khothol (HR Al-Bukhari no 1846 dan Muslim no 1357). Ibnu Khothol adalah seorang yang suka mengejek Nabi dan dia suka membuat syair-syair untuk menghina Nabi. Bahkan Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa Ibnu Khothol sempat masuk Islam namun dia murtad bahkan membunuh seorang muslim (lihat As-Siroh An-Nabawiyah, Ibnu Ishaaq hal 530 dan dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 4/61) . Maka meskipun dia berlindung dengan memegang kain/kiswah Ka’bah, Nabi tetap menyuruh sahabatnya untuk membunuhnya.
Nabi bersabda:
وَإِنَّمَا أَذِنَ لِي فِيهَا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، ثُمَّ عَادَتْ حُرْمَتُهَا اليَوْمَ كَحُرْمَتِهَا بِالأَمْسِ
“Sesungguhnya Allah telah mengizinkanku pada suatu saat di siang hari kemudian dikembalikan kesuciannya hari ini sebagaimana disucikannya sebelumnya.” (HR Bukhari no. 104 dan Muslim no. 1354)
Hanya beberapa saat saja Nabi diizinkan berperang di kota Mekah. Yaitu sejak terbit matahari hingga sholat ashar (lihat Fathul Baari, Ibnu Hajar 4/44 dan At-Taudhiih, Ibnul Mulaqqin 12/456).
Ayat ini juga menjadi dalil bahwasanya Allah mengabarkan tentang suatu kejadian di masa depan. Karena surat ini -surat makkiyah- turun tatkala Nabi masih ditindas di kota Mekah dan belum berhijrah ke kota Madinah. Tetapi Allah mengabarkan bahwa suatu saat nanti Nabi akan masuk kembali ke kota Mekah untuk berperang di dalamnya hingga beliau berhasil menguasainya.
Kemudian Allah berfirman:
3. وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ
“Dan demi (pertalian) bapak dan anaknya”
Ada 2 pendapat di kalangan para ulama tentang makna مَا pada ayat ini. Pendapat pertama, jika مَا disitu adalah مَا اَلْمَوْصُوْلَةُmaka makna ayat menjadi “Dan demi orangtua dan anak yang dia lahirkan.” Pendapat kedua, jikaمَا disitu adalah مَا النَّافِيَةُ maka makna ayat menjadi “Dan demi orang yang melahirkan dan orang yang tidak bisa melahirkan (mandul).”
Namun pendapat yang lebih kuat adalah مَا اَلْمَوْصُوْلَةُ. Kemudian siapakah yang dimaksud dengan orangtua dan anak yang dilahirkannya?. Sebagian ulama mengatakan Nabi Adam dan keturunannya. Sebagian yang lain mengatakan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, kemudian beranak pinak sampai lahirlah Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam. Dan pendapat yang dipilih oleh At-Thobari bahwa ayat ini bersifat umum mencakup semua yang melahirkan dan yang dilahirkan (Tafsir At-Thobari 24/408)
Kemudian Allah berfirman:
4. لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam kepayahan”
Allah bersumpah dengan empat perkara pada tiga ayat sebelumnya untuk menegaskan bahwa manusia itu tercipta dalam kesulitan dan kepayahan. Allah ingin membantah persangkaan sebagian orang bahwa dunia ini bisa ditempuh dengan senang-senang tanpa ada kesulitan sama sekali. Padahal Allah menjadikan manusia dalam keadan sulit dan payah sepanjang hidupnya, bahkan sejak lahirnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi rahimahullah bahwa seorang anak sejak lahir sudah mengalami kepayahan. Pada saat dilahirkan pusarnya dipotong kemudian dia harus menyusu kepada ibunya, kadangkala air susu ibunya tidak lancar. Tatkala giginya tumbuh ia merasa kesakitan dan panas. Setelah dia bertumbuh semakin besar dia harus menghadapi kehidupannya, setelah dia menikah dia harus menanggung nafkah istri dan anak-anaknya. Memasuki masa tuanya badannya mulai lemah dan terus menerus mengalami kepayahan hingga akhirnya dia meninggal dunia. Di dalam kubur dia akan ditanyai oleh para malaikat, kemudian dibangkitkan lagi dalam keadaan payah. Ini semua menunjukan bahwa ada Tuhan yang mengatur dirinya, kalau seandainya tidak ada yang mengatur tentu dia tidak akan memilih kesulitan dan kepayahan tersebut. Karenanya hendaknya ia tunduk kepada Tuhan tersebut yang mengatur segala urusannya. (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/62-63). Maka hendaknya ia berusaha untuk beramal sholih yang menyelamatkannya dari kesulitan-kesulitan akhirat, jika tidak maka ia akan terus dalam kesulitan dan kepayahan yang abadi (lihat Tafsir As-Sa’di hal 924). Manusia istirahat dari kepayahannya adalah ketika masuk ke dalam surga.
Ada seseorang datang jauh-jauh dari Khurosan untuk menemui Imam Ahmad, ia berkata;
يا أبا عَبْد اللَّهِ قَصَدْتُكَ مِنْ خُرَاسَان أَسْأَلُكَ عَنْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Abdillah (yaitu Imam Ahmad) aku datang menemuimu dari Khurosan untuk bertanya kepadamu tentang satu permasalahan?”
Imam Ahmad berkata kepadanya, سَلْ “Tanyakanlah !”. Orang itu berkata, مَتَى يَجِدُ الْعَبْدُ طَعْمَ الرَّاحَةِ؟ “Kapankah seorang hamba merasakan nikmatnya istirahat?”. Imam Ahmad berkata:
عِنْدَ أَوَّلِ قَدَمٍ يَضَعُهَا فِي الْجَنَّةِ
“Tatkala pertama kali ia menginjakan kakinya di surga” (Thobaqoot al-Hanaabilah 1/293 dan al-Maqshod al-Arsyad 2/398)
Oleh karena itu, ada 2 pendapat di kalangan para ahli tafsir tentang manusia yang akan merasakan kepayahan yang dimaksudkan dalam ayat ini. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah manusia secara umum sebab pada kenyataannya semua manusia mengalami kepayahan. Baik muslim maupun kafir, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, baik baik kaya maupun miskin, baik dia presiden ataupun rakyat. Semua orang dalam keadaan susah dan payah, tidak ada kelezatan yang sempurna dan peristirahatan yang sempurna kecuali di surga kelak. Semua manusia akan diuji, apalagi orang-orang yang beriman. Bahkan Allah berjanji untuk menguji mereka, semakin tinggi iman seseorang semakin berat ujiannya. Dalam sebuah hadits dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024)
Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah orang kafir. (lihat At-Thariir wa At-Tanwiir 30/351) Sebagaimana kaidah yang telah berlalu pada tafsir surat sebelumnya, seluruh kata al-insan yang terdapat dalam surat Makiyyah ditujukan untuk orang kafir karena surat tersebut turun dalam rangka mencela dan mengajak orang-orang kafir untuk berpikir. Sehingga yang dimaksudkan dalam ayat mengalami kepayahan adalah orang-orang kafir. Dan konteks ayat-ayat dari pertama hingga terkahir adalah tentang orang kafir. Karena orang mukmin meskipun menghadapi kepayahan tetapi hatinya tenteram, karena ada keimanan di dalam hatinya. Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’d : 28)
Meskipun orang-orang mukmin diuji oleh Allah tetapi hatinya akan tenang. Berbeda dengan orang-rang kafir, meskipun nampaknya mereka dalam kesenangan dan kemewahan, tetapi hati mereka kosong dari keimanan, hati mereka tidak bahagia. Mereka hanya merasakan kelezatan jasmani dan tidak merasakan kebahagiaan hati. Allah berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha : 124)
Kemudian Allah berfirman:
5. أَيَحْسَبُ أَن لَّن يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ
“Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?”
Sehingga dia bebas melakukan kemaksiatan, bebas melakukan apa yang dia inginkan, seakan-akan dia cuma hidup sekali dan tidak akan dihidupkan lagi pada hari kiamat kelak?. Apakah setelah tubuhnya menjadi hancur dan tulang belulangnya berubah menjadi tanah Allah tidak mampu membangkitkannya? (lihat At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/351)
6. يَقُولُ أَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًا
“Dia mengatakan, ‘Aku telah menghabiskan harta yang banyak’.”
Dia menghabiskan harta sepuasnya, menghabiskan hartanya untuk hal-hal yang haram, untuk berfoya-foya, karena dia menyangka bahwasanya hartanya akan ada terus tidak habis-habis. Karenanya Allah menamakan sikap menghabiskan harta pada kemaksiatan dengan إِهْلَاك , yaitu “memusnahkan”, dan Allah tidak menamakannya dengan “infaq”. Hal ini karena harta yang digunakan untuk maksiat tidak akan memberi manfaat kepada pelakunya, dan tidaklah kembali kepada pelakunya kecuali kerugian dan penyesalan. Lain halnya dengan orang yang berinfaq di jalan Allah, maka ia telah berdagang dengan Allah, ia akan mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat ganda. (lihat Tafsir As-Sa’adi hal 924)
7. أَيَحْسَبُ أَن لَّمْ يَرَهُ أَحَدٌ
“Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya?”
Orang ini tatkala berkata أَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًا “Aku telah menghabiskan harta yang banyak”, ia mengucapkannya dengan kesombongan. Ia menyombongkan harta yang banyak yang telah ia hambur-hamburkan dalam kemaksiatan.
Dahulu orang-orang jahiliyah berbangga-banggaan dalam menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Bahkan mereka menganggap sikap seperti ini adalah kemuliaan. Ini mereka lakukan untuk menunjukan bahwa saking banyak hartanya maka mereka tidak perduli untuk menghamburkan harta mereka (Lihat At-Tahriir wa at-Tanwiir 30/352)2
Apakah ia menyangka bahwa perbuatannya tersebut tidak ada yang lihat? Tidak akan dihisab baik yang kecil maupun besar?. Padahal apapun yang dia lakukan semuanya akan dilihat oleh Allah dan dicatat oleh malaikat. (lihat Tafsir As-Sa’di hal 924)
Kemudian mengingatkan manusia ini akan kenikmatan dan karunia yang Allah berikan kepadanya, yang seharusnya semua karunia tersebut dia gunakan untuk bersyukur kepada Allah, bukan untuk membangkang kepada Allah. Allah berfirman :
8. أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata”
9. وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Dan lidah dan sepasang bibir”
Allah ingin menunjukkan karunia Allah kepada manusia. Allah telah memberikan kepadanya kenikmatan lisan, kenikmatan dua bibir, dan kenikmatan dua mata. Ini diantara kenikmatan yang sangat besar. Kedua mata untuk melihat keagungan dan kebesaran Allah dalam ciptaanNya, lisan dan kedua bibir yang bisa digunakan untuk mengungkapkan isi hati. Demikian juga membantu untuk makan dan minum serta menambah indahnya rupa. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/393). Namun kebanyakan manusia tidak mensyukurinya dengan menggunakan nikmat-nikmat tersebut dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Lisan yang diberikan oleh Allah tidak digunakan untuk berdzikir, melainkan hanya ucapan yang sia-sia saja. Mata yang diberikan oleh Allah digunakannya untuk melihat hal-hal yang haram.
Setelah Allah menyebutkan sebagian kenikmatan yang berkaitan dengan dunia Allah juga menyebutkan kenikmatan yang berkaitan dengan agama, Allah berfirman :
10 وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)”
Yaitu Allah telah menjelaskan kedua jalan tersebut dengan sejelas-jelasnya agar manusia mengikuti jalan kebaikan dan meninggalkan jalan keburukan.
Lalu Allah menjelaskan tentang apa yang seharusnya yang dilakukan oleh orang yang Allah telah berikan karunia kepadanya terlebih lagi harta yang banyak. Bukan untuk dihamburkan tapi untuk disalurkan kepada jalna-jalan kebaikan. Allah berfirman:
11. فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ
“Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar”
عَقَبَةَ dalam bahasa arab artinya jalan yang ada di sela-sela gunung-gunung. Yang dimaksudkan adalah jalan menuju surga. Jalan menuju surga seperti menempuh jalan di atas gunung, jalurnya sukar dan butuh perjuangan karena berlawanan dengan hawa nafsu. Seharusnya seseorang apabila mengetahui bahwa sesuatu itu baik sepatutnya dia langsung melaksanakannya tanpa perlu berpikir panjang meskipun itu adalah perkara yang berat. Seperti seorang yang melewati jalan-jalan gunung yang membutuhkan perjuangan. Karena demikianlah jalan menuju surga.
Sebenarnya jalan-jalan ini adalah tidak terlalu berat hanya saja dirasa sangat berat bagi orang yang tenggelam dalam kemaksiatan, sehingga untuk berbuat baik akan terasa sangat berat karena ia telah mengikuti hawa nafsunya (lihat Tafsir As-Sa’di hal 924). Adapun orang yang beriman maka meski jalan-jalan ini berat akan tetapi keimanannya menjadikannya lebih terasa ringan untuk menempuhnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa maksud dari عَقَبَةَ adalah gunung di neraka (lihat Tafsir As-Sam’aani 6/229) sehingga maksud ayat ini adalah jika seseorang hendak lolos dan selamat dari siksaan mendaki gunung di neraka maka lewatilah gunung tersebut dengan melakukan amalan-amalan kebajika seperti membebaskan budak, memberi makan orang miskin, dll.
Setelah itu Allah menjelaskan tentang apa itu jalan yang sulit, Allah berfirman:
12. وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ
“Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?”
13. فَكُّ رَقَبَةٍ
“(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya)”
Diantara jalan yang sulit tersebut adalah membebaskan seorang budak. Islam adalah agama yang menganjurkan untuk membebaskan budak. Tidak seperti yang dituduhkan oleh orang-orang nasrani bahwa islam adalah agama yang menganjurkan memperbudak. Perbudakan sudah ada di zaman Nabi saat itu, termasuk orang-orang romawi juga memperbudak, orang-orang nasrani juga memperbudak, begitupun dengan orang-orang yahudi. Tapi tatkala Islam datang maka Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memotivasi agar membebaskan budak. Dimana ini merupakan salah satu jalan menuju surga. Termasuk dalam makna membebaskan budak selain memerdekakannya secara langsung adalah dengan membantunya dalam mukatabahnya (yaitu melunasi hutang sang budak yang ingin menebus dirinya sendiri dari majikannya). Demikian juga membebaskan tawanan perang muslim yang ditawan oleh pihak musuh. (lihat Tafsir As-Sa’di hal 924)
Kemudian Allah berfirman:
14. أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ
“Atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan”
Diantara jalan yang sulit tersebut adalah memberi makan pada hari kelaparan. Pahala seorang yang bersedekah bertingkat-tingkat sesuai dengan kondisi orang yang disedekahi, apabila kita memberi sedekah kepada orang yang sangat membutuhkan maka pahalanya lebih besar. Al-Qurthubi berkata :
وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ فَضِيلَةٌ، وَهُوَ مَعَ السَّغَبِ الَّذِي هُوَ الْجُوعُ أَفْضَلُ
“Memberi makanan adalah kemuliaan, dan jika disertai dengan kelaparan yang amat sangat maka lebih mulia lagi” (Tafsir Al-Qurthubi 20/69)
15. يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ
“(Kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat”
Diantaranya yaitu memberi makan anak yatim yang memiliki hubungan kekerabatan. Anak yatim adalah anak yang belum baligh namun ayahnya telah meninggal dunia. Memberi makan anak yatim yang memiliki hubungan kekerabatan lebih utama daripada anak yatim yang tidak ada hubungan kekerabatan. Karena berinfak kepada kerabat pahalanya lebih besar, yaitu pahala infak dan pahala silaturrahmi. Oleh karena itu, sebagian ulama berfatwa bahwa hukum asal zakat adalah tidak boleh dikeluarkan dari suatu negeri, tetapi harus diberikan kepada penduduk negeri tersebut kecuali kalau di negeri lain ada kerabat kita yang miskin, maka tidak mengapa kita salurkan untuk kerabat kita tersebut.
Sebagian orang terkadang berbuat sebaliknya, mereka justru lebih semangat untuk membantu orang-orang yang jauh yang bukan kerabatnya. Padahal seharusnya dengan kerabatnya yang mengalami kesusahan dia harus lebih perhatian, karena lebih utama untuk dibantu.
Demikian pula memberi bantuan kepada anak yatim yang tidak orang yang mengayominya lebih besar pahalanya daripada kepada anak yatim yang sudah ada yang mengayominya (lihat Tafsir Al-Qurthubi 20/70)
16. أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ
“Atau orang miskin yang sangat fakir”
مَتْرَبَةٍdiambil dari kata تُرَابٌ yang artinya tanah. Disebut memiliki tanah karena saking miskinnya ia seakan-akan tidak memiliki apa-apa kecuali hanya tanah yang dimilikinya atau saking miskinnya ia seakan-akan menempel ditanah. Intinya adalah memberi sedekah kepada orang yang sangat fakir miskin lebih utama dari yang sekedar miskin. Karenanya pahala sedekah bertingkat-tingkat sesuai dengan kondisi orang yang disedekahi tersebut, semakin dia butuh maka pahala semakin besar.
Kemudian Allah berfirman:
17. ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ
“Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang”
Terdapat dua pendapat di kalangan para ulama mengenai ayat ini. Pendapat pertama mengatakan, maksud ayat ini adalah seakan-akan Allah mengatakan kepada orang kafir tadi mengapa ia tidak mau berbuat kebaikan-kebaikan tersebut? Dan jika dia hendak melakukan kebaikan-kebaikan tersebut maka ia harus beriman terlebih dahulu. Ini menunjukkan bahwasanya seorang kafir bagaimanapun amalan kebajikan yang dia lakukan namun tidak dibangun di atas keimanan tetap tidak akan diterima oleh Allah. (lihat Tafsir Al-Baghowi 8/433)
Aisyah radhiallahu ‘anhaa berkata :
يَا رَسُولَ اللهِ، ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ، وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ، فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ؟ قَالَ: ” لَا يَنْفَعُهُ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
“Wahai Rasulullah, dahulu di zaman jahiliyah, Ibnu Jad’an gemar menyambung tali silaturrahmi, memberi makan orang miskin, apakah itu bermanfaat baginya?” Nabi menjawab, “Tidak, sesungguhnya ia tidak pernah sekalipun mengatakan, ‘Wahai Rabbku ampunilah kesalahanku pada hari pembalasan’.” (HR Muslim no. 214)
Seluruh kebaikan yang dia lakukan tidak bermanfaat meskipun dia membebaskan budak-budak, meskipun dia memberi makan kepada fakir miskin, meskipun dia memuliakan tamu, meskipun dia menyambung silaturahmi, namun itu semua tidak ada faedahnya di sisi Allah. Allah berfirman:
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidaklah ada yang menghalangi infak mereka diterima kecuali karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS At-Taubah : 54)
Demikian juga apa yang terjadi pada Abu Thalib, paman Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam yang rela mati demi membela Nabi. Dia rela berperang melawan kerabat-kerabatnya demi membela keponakannya yaitu Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam. Tetapi karena meninggal dalam kesyirikan, dia tetap dimasukkan ke dalam neraka Jahannam. Oleh karena itu, para ikhwan yang dirahmati olerh Allah SWT, seorang meskipun baiknya apapun jika dia musyrik, tidak beriman kepada Allah, kebaikannya tidak akan diterima oleh Allah SWT. oleh karenanya Allah mengatakan tsumma kaana minalladziina aamanuu, silahkan engkau berbuat kebajikan dengan syarat engkau termasuk orang-orang yang beriman,
Pendapat kedua bahwa maksud ayat ini adalah barangsiapa yang berbuat kebajikan, diantaranya membebaskan budak, memberi makan kepada fakir miskin, kemudian setelah itu dia masuk islam dan beriman, maka seluruh kebajikan yang pernah dia lakukan tersebut ketika masih jahiliyyah akan diterima oleh Allah. (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/71). Demikianlah salah satu keistimewaan islam, barangsiapa yang masuk islam maka amalan shaleh yang pernah dia lakukan sebelum islam akan diikut sertakan dalam keislamannya, semua akan menjadi simpanan amal shaleh baginya. Adapun kemaksiatan yang pernah dia lakukan sewaktu kafir semuanya akan terhapuskan.
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ أَشْيَاءَ كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ عَتَاقَةٍ أَو صِلَةِ رَحِمٍ ، فَهَلْ فِيْهَا مِنْ أَجْرٍ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْ خَيْرٍ.
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memandang perbuatan-perbuatan baik yang aku lakukan sewaktu masa Jahiliyyah seperti shadaqah, membebaskan budak atau silaturahmi tetap mendapat pahala?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah masuk Islam beserta semua kebaikanmu yang dahulu.” (HR Bukhari no. 1436)
Ini adalah dalil bahwasanya orang yang baru masuk islam maka seluruh amalan kebajikan yang pernah dia lakukan sewaktu kafir juga akan tercatat di sisi Allah sebagai amalan shaleh.
Kemudian Allah menyebutkan ciri-ciri orang yang beriman, yaitu senantiasa saling berwasiat untuk bersabar. Karena kehidupan ini butuh dengan kesabaran, yaitu kesabaran dalam menjalankan ketaatan, kesabaran dalam menjauhi kemaksiatan, dan kesabaran tatkala ditimpa musibah. Dan mereka juga saling mewasiatkan untuk saling merahmati satu sama lain. Dan saling mewasiatkan untuk merahmati adalah perangai yang agung. Dan tidaklah seseorang berwashiat untuk merahmati kecuali ia tahu betul akan keagungan dan kemuliaan rahmat. Dan tentunya ia telah melakukannya sebelum berwashiat kepada orang lain. Ini juga menunjukan bahwa diantara sifat utama orang-orang yang beriman adalah sabar dan sayang kepada sesama makhluk (lihat At-Tahriir wa at-Tanwiir 30/361).
Barangsiapa yang merahmati orang lain maka dia akan dirahmati oleh Allah. Nabi bersabda:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاء
“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah yang di atas muka bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR Tirmidzi no. 1924)
Bahwa ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mengasihi kambing jika aku menyembelihnya”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَهَا رَحِمَكَ اللَّهُ
“Jika engkau mengasihinya maka Allah merahmatinya.” (HR Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 373)
Jika mereka saling berwashiat untuk merahmati (mengasihi) maka mereka akan memperhatikan orang-orang miskin dan anak yatim (Lihat Tafsir al-Qurthubi 20/71)
Kemudian Allah berfirman:
18. أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ
“Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan”
Yaitu para penghuni surga
19. وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ
“Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri”
Yaitu para penghuni neraka Jahannam
20. عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ
“Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat”
Orang kafir yang telah memasuki neraka neraka seakan-akan neraka itu menjadi tertutup bagi mereka sehingga tidak mungkin keluar lagi.
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat.” (QS Al-A’raf : 40)
Dan hal tersebut mustahil terjadi. Oleh karena itu, orang kafir abadi di dalam neraka jahannam disiksa.
Keterangan:
1 الحُرُوْفُ الزَّائِدَةُ Huruf-huruf tambahan dalam al-Qurán bukanlah maksudnya sama saja jika tidak ada huruf tersebut tidak merubah arti, akan tetapi maksudnya “tambahan”dari sisi i’roob, bahwasanya huruf-huruf secara i’roob tidak memiliki kedudukan. Akan tetapi secara makna tentu ada tambahan makna yaitu untuk menekankan, sebagaimana dalam ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya. Diantara fungsi huruf-huruf tambahan ini juga adalha untuk memperindah susunan kata-kata. (lihat Al-Burhaan fi Úluumil Quráan, Az-Zarkasyi 3/72, Sirrul Fashoohah, Al-Khofaaji hal 156, Tafsiir al-Kasyyaaf, Az-Zmakhsyari 1/431)
2 Gaya hidup seperti ini terkadang masih terwariskan kepada sebagian kaum muslimin, yang terkadang berbangga-banggaan dalam menghamburkan uang pada perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia. Sebagian orang bangga tatkala mengadakan pesta besar-besaran bahkan hingga berhari-hari. Ini dilakukan hanya untuk menunjukan bahwa hartanya banyak. Atau sebagian orang sengaja membeli mobil yang banyak dengan harga yang melangit, untuk ia pamerkan kepada masyarakat. Hanya untuk menunjukan bahwa ia adalah orang yang sangat kaya
Sumber: https://firanda.com/