Surat Al-Buruj adalah surat Makiyyah berdasarkan kesepakatan para ulama, yaitu surat yang diturunan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelum Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke kota Madinah. Allah berfirman dalam ayat yang pertama:
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang”
Tentang makna Al-Buruj terdapat beberapa pendapat di kalangan para ulama. Imam Al-Qurtubi menyebutkan bahwasanya ada empat pendapat di kalangan para ulama tentang makna Al-Buruj. Al-Buruj dalam bahasa Arab bermakna الظُّهُوْرُ ‘’sesuatu yang nampak’’. Karenanya perkara-perkara yang nampak dilihat oleh orang banyak dikatakan dengan istilah al-buruj, istana dalam bahasa Arab juga dikatakan al-buruj, benteng dalam bahasa Arab juga bisa diungkapkan dengan al-buruj, bintang-bintang dalam bahasa arab juga dikatakan dengan buruj, wanita yang menampakkan kecantikan dan keindahan tubuhnya dinamakan wanita yang bertabarruj.
Diantara tafsiran lainnya ada yang menyatakan al-buruj artinya manazil al-qamar, yaitu tempat-tempat yang dilewati oleh rembulan. Ada pula yang mengatakan bahwasanya al-buruj adalah al-qushur yaitu istana-istana, sehingga ayat ini bermakna was-samai dzatil qushur, demi langit yang memiliki istana-istana. Ada juga yang mengatakan bahwasanya al-buruj artinya adalah an-nujum yaitu bintang-bintang, sehingga ayat ini bermakna was-samaai dzatin nujum, demi langit yang memiliki bintang-bintang. Dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 8/357) berdasarkan firman Allah
تَبارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّماءِ بُرُوجاً وَجَعَلَ فِيها سِراجاً وَقَمَراً مُنِيراً
‘’Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya’’ (QS Al-Furqon : 61)
Intinya Allah bersumpah dengan langit, karena langit merupakan makhluk Allah yang paling besar dan yang paling luas yang bisa disaksikan oleh manusia sekarang ini. Sehingga jika dicermati, akan dijumpai bahwa Allah sering bersumpah dengan langit karena langit adalah makhluk yang sangat besar yang bisa disaksikan oleh manusia dimanapun mereka berada.
Kemudian Allah berfirman:
وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ
“Dan demi hari yang dijanjikan”
Para ulama telah bersepakat bahwasanya hari yang dijanjikan yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah hari kiamat. (lihat Tafsir al-Qurthubi 19/283). Karena hari kiamat akan tiba pada waktunya sesuai dengan janji yang ditetapkan Allah.
Kemudian Allah berfirman:
وَشَاهِدٍ وَمَشْهُود
“Demi yang menyaksikan dan yang disaksikan”
Tentang maksud شَاهِدٍ (yang menyaksikan) dan مَشْهُودٍ (yang disaksikan), ada banyak perkataan para ulama. Jika kita membaca buku tafsir, seperti tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al-Qurthubi atau tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari akan dijumpai banyak sekali penyebutan tentang makna syaahid (yang menyaksikan). Intinya mereka menyebutkan contoh-contoh siapa yang dimaksudkan. Misalnya diantara شَاهِدٍ (yang menyaksikan) adalah seperti Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Allah seakan-akan bersumpah demi Muhammad. Diantaranya yang menyaksikan juga adalah Allah, sehingga Allah seakan-akan bersumpah dengan diri-Nya sendiri. Diantara yang menyaksikan pula adalah umat Muhammad.
Demikian juga halnya مَشْهُودٍ (yang disaksikan), ada yang menafsirkan bahwa ‘’yang disaksikan’’ adalah hari kiamat, ada yang berpendapat hari jumat’, ada yang berpendapat hari ‘Arofah, dan ada yang berpendapat Hari an-Nahr.
Karenanya sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan syahid wa masyhud yaitu semua yang menyaksikan dan semua yang disaksikan, diantaranya Asy-Syaukani (Lihat Fathul Qodiir 5/504) dan As-Sa’di (Lihat Taisiir al-Kariim Ar-Rahman hal 918). Allah menyebutkan hal ini karena surat Al-Buruj berkaitan tentang penyiksaan terhadap kaum mukminin dan mukminat sedangkan orang-orang kafir menyaksikan mereka disiksa dan orang-orang kafir itu berlezat-lezat menyaksikannya. (lihat At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/239)
Dalam tiga ayat pertama ini, Allah bersumpah dengan empat perkara, pertama dengan langit, kedua dengan hari kiamat, ketiga dengan yang menyaksikan, keempat dengan yang dipersaksikan. Allah tidak menyebutkan Dia bersumpah untuk apa. Sebagian ulama berpendapat Allah bersumpah untuk menekankan bahwasanya ada hari kebangkitan akan tiba. Taqdirnya (seakan-akan) Allah berkata: لتُبْعَثُنَّ ‘’Sungguh kalian akan dibangkitkan’’ (lihat At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/240). Terlebih surat ini adalah surat Makiyyah yang diturunkan pada fase Mekkah tatkala Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi orang-orang kaum musyrikin arab yang mana mereka mengingkari hari kiamat. Allah berfirman:
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن لَّن يُبْعَثُوا ۚ قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ ۚ وَذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), “Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kamu kerjakan.” Dan yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS At-Taghabun : 7)
Orang-orang kafir menyangka bahwasanya mereka tidak akan dibangitkan. Tulang-tulang sudah lumat, tulang-tulang sudah hancur dan bersatu dengan tanah. Padahal mereka akan dibangkitkan dan akan dikabarkan kepada mereka tentang semua yang pernah mereka lakukan di atas muka bumi.
Setelah itu Allah menyebutkan tentang ujian yang dihadapi oleh kaum mukminin dan mukminat. Allah berfirman:
قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ
“Binasalah orang-orang yang membuat parit”
Yaitu terlaknatlah atau binasalah orang-orang yang membuat parit. Inti dari ayat ini adalah menceritakan tentang kaum mukminin dan kaum mukminat yang dipaksa untuk keluar dari agama Allah namun mereka enggan. Akhirnya merekapun dimasukan ke dalam parit lalu dibakar hidup-hidup, dan mereka tetap bertahan dan rela mati demi mempertahankan agama Allah.
Adapun siapakah mereka?, maka ada beberapa pendapat di kalangan ulama. Diantara pendapat yaitu mereka ini adalah sebagian ahlul kitab yang tinggal di Persia, yang mana para raja-raja mereka ingin menghalalkan menikah sesama mahram, seperti antara seorang lelaki dengan bibinya, antara seorang lelaki dengan adiknya. Hal ini asalnya karena ada salah seorang raja yang mabuk lalu ia menggauli saudari perempuannya sendiri. Tatkala ia sadar dari mabuknya maka iapun bingung bagaimana solusi dari yang ia hadapi. Maka sang wanita berkata, ‘’Sampaikanlah kepada masyarakat bahwa telah dihalalkan menikah dengan saudari sendiri’’. Namun para ahlul kitan menentang kebijakan para raja ini. Akhirnya raja pun murka dan membuat parit kemudian membakar hidup-hidup mereka. Maka sejak saat itu raja-raja Persia menghalalkan menikahi sesama mahram. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu. (lihat Tafsir At-Thobari 24/270)
Ibnu Ishaaq dalam sirohnya bahwa yang dibunuh adalah kaum nashoro di Yaman. Kisahnya ada seseorang yang bernama Dzu Nawas ia berpindah ke agama Yahudi, lantas ia memaksa penduduk Yaman yang beragama Nashrani untuk memeluk agama Yahudi, namun mereka menolak, akhirnya Dzu Nawas menggali parit dan membunuh mereka yang berjumlah sekitar 20 ribu orang (sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 8/363)
Ada juga pendapat bahwasanya kisah ini terjadi pada Bani Israil, sebagaimana dalam sebuah hadist. Yaitu pada zaman antara Nabi Isa diutus dan sebelum diutusnya Nabi Muhammad, telah terjadi kasus penyiksaan kaum mukminin dan mukminat di zaman itu. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ صُهَيْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كَانَ مَلِكٌ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ فَلَمَّا كَبِرَ قَالَ لِلْمَلِكِ إِنِّى قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَىَّ غُلاَمًا أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ. فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلاَمًا يُعَلِّمُهُ فَكَانَ فِى طَرِيقِهِ إِذَا سَلَكَ رَاهِبٌ فَقَعَدَ إِلَيْهِ وَسَمِعَ كَلاَمَهُ فَأَعْجَبَهُ فَكَانَ إِذَا أَتَى السَّاحِرَ مَرَّ بِالرَّاهِبِ وَقَعَدَ إِلَيْهِ فَإِذَا أَتَى السَّاحِرَ ضَرَبَهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى الرَّاهِبِ فَقَالَ إِذَا خَشِيتَ السَّاحِرَ فَقُلْ حَبَسَنِى أَهْلِى. وَإِذَا خَشِيتَ أَهْلَكَ فَقُلْ حَبَسَنِى السَّاحِرُ.
Dari Shuhaib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada seorang raja dari golongan umat sebelum kalian, ia mempunyai seorang tukang sihir. Ketika tukang sihir tersebut berada dalam usia senja, ia mengatakan kepada raja bahwa ia sudah tua dan ia meminta agar dikirimkan seorang anak yang akan jadi pewaris ilmu sihirnya. Maka diutuslah seorang anak padanya. Tukang sihir tersebut lalu mengajarinya.
Di tengah perjalanan ingin belajar, anak ini bertemu seorang rahib (pendeta) dan ia pun duduk bersamanya dan menyimak nasehat si rahib. Ia begitu takjub pada nasehat-nasehat yang disampaikan si rahib. Jika ia mendatangi tukang sihir untuk belajar, ia melewati si rahib dan duduk bersamanya. Ketika ia terlambat mendatangi tukang sihir, ia dipukul, kemudian ia mengadukannya pada rahib. Rahib berkata, “Jika engkau khawatir pada tukang sihir tersebut, maka katakan saja bahwa keluargaku menahanku. Jika engkau khawatir pada keluargamu, maka katakanlah bahwa tukang sihir telah menahanku.”
فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ أَتَى عَلَى دَابَّةٍ عَظِيمَةٍ قَدْ حَبَسَتِ النَّاسَ فَقَالَ الْيَوْمَ أَعْلَمُ آلسَّاحِرُ أَفْضَلُ أَمِ الرَّاهِبُ أَفْضَلُ فَأَخَذَ حَجَرًا فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَّةَ حَتَّى يَمْضِىَ النَّاسُ. فَرَمَاهَا فَقَتَلَهَا وَمَضَى النَّاسُ فَأَتَى الرَّاهِبَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ الرَّاهِبُ أَىْ بُنَىَّ أَنْتَ الْيَوْمَ أَفْضَلُ مِنِّى. قَدْ بَلَغَ مِنْ أَمْرِكَ مَا أَرَى وَإِنَّكَ سَتُبْتَلَى فَإِنِ ابْتُلِيتَ فَلاَ تَدُلَّ عَلَىَّ
Pada suatu saat ketika ia berada dalam keadaan yang demikian itu, tibalah ia di suatu tempat dan di situ ada seekor binatang besar yang menghalangi orang banyak (di jalan yang dilalui mereka). Anak itu lalu berkata, “Pada hari ini saya akan mengetahui, apakah penyihir itu yang lebih baik ataukah rahib itu.” Ia pun mengambil sebuah batu kemudian berkata, “Ya Allah, apabila perkara rahib itu lebih dicintai di sisi-Mu daripada tukang sihir itu, maka bunuhlah binatang ini sehingga orang-orang banyak dapat berlalu.” Lalu ia melempar binatang tersebut dan terbunuh. Maka orang-orang pun bisa lewat. Lalu ia mendatangi rahib dan mengabarkan hal tersebut. Rahib tersebut mengatakan, “Wahai anakku, saat ini engkau lebih mulia dariku. Keadaanmu sudah sampai pada tingkatan sesuai apa yang aku lihat. Sesungguhnya engkau akan mendapat cobaan, maka jika benar demikian, janganlah menyebut namaku.”
كَانَ الْغُلاَمُ يُبْرِئُ الأَكْمَهَ وَالأَبْرَصَ وَيُدَاوِى النَّاسَ مِنْ سَائِرِ الأَدْوَاءِ فَسَمِعَ جَلِيسٌ لِلْمَلِكِ كَانَ قَدْ عَمِىَ فَأَتَاهُ بِهَدَايَا كَثِيرَةٍ فَقَالَ مَا هَا هُنَا لَكَ أَجْمَعُ إِنْ أَنْتَ شَفَيْتَنِى فَقَالَ إِنِّى لاَ أَشْفِى أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِى اللَّهُ فَإِنْ أَنْتَ آمَنْتَ بِاللَّهِ دَعَوْتُ اللَّهَ فَشَفَاكَ. فَآمَنَ بِاللَّهِ فَشَفَاهُ اللَّهُ
Anak itu menjadi seorang yang dapat menyembuhkan orang buta dan berpenyakit kulit. Ia juga dapat menyembuhkan orang-orang dari berbagai macam penyakit. Berita ini pun sampai di telinga sahabat dekat raja yang telah lama buta. Ia mendatangi pemuda tersebut dengan membawa banyak hadiah. Ia berkata pada pemuda tersebut, “Ini semua bisa jadi milikmu asalkan engkau menyembuhkanku.” Pemuda ini berkata, “Aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun. Yang mampu menyembuhkan hanyalah Allah. Jika engkau mau beriman pada Allah, aku akan berdoa pada-Nya supaya engkau bisa disembuhkan.” Ia pun beriman pada Allah, lantas Allah menyembuhkannya.
فَأَتَى الْمَلِكَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ كَمَا كَانَ يَجْلِسُ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَنْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ قَالَ رَبِّى. قَالَ وَلَكَ رَبٌّ غَيْرِى قَالَ رَبِّى وَرَبُّكَ اللَّهُ. فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الْغُلاَمِ فَجِىءَ بِالْغُلاَمِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ أَىْ بُنَىَّ قَدْ بَلَغَ مِنْ سِحْرِكَ مَا تُبْرِئُ الأَكْمَهَ وَالأَبْرَصَ وَتَفْعَلُ وَتَفْعَلُ . فَقَالَ إِنِّى لاَ أَشْفِى أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِى اللَّهُ. فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الرَّاهِبِ فَجِىءَ بِالرَّاهِبِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ. فَأَبَى فَدَعَا بالْمِنْشَارَ فَوَضَعَ الْمِنْشَارَ فِى مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِىءَ بِجَلِيسِ الْمَلِكِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ. فَأَبَى فَوَضَعَ الْمِنْشَارَ فِى مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ بِهِ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ
Sahabat raja tadi kemudian mendatangi raja dan ia duduk seperti biasanya. Raja pun bertanya padanya, “Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?” Ia pun menjawab, “Rabbku.” Raja pun kaget, “Apa engkau punya Rabb (Tuhan) selain aku?” Sahabatnya pun berkata, “Rabbku dan Rabbmu itu sama yaitu Allah.” Raja tersebut pun menindaknya, ia terus menyiksanya sampai ditunjukkan anak yang tadi. (Ketika anak tersebut datang), raja lalu berkata padanya, “Wahai anakku, telah sampai padaku berita mengenai sihirmu yang bisa menyembuhkan orang buta dan berpenyakit kulit, serta engkau dapat melakukan ini dan itu.” Pemuda tersebut pun menjawab, “Sesungguhnya aku tidaklah dapat menyembuhkan siapa pun. Yang menyembuhkan adalah Allah.” Mendengar hal itu, raja lalu menindaknya, ia terus menyiksanya, sampai ditunjukkan pada pendeta yang menjadi gurunya. (Ketika pendeta tersebut didatangkan), raja pun memerintahkan padanya, “Kembalilah pada ajaranmu!” Pendeta itu pun enggan. Lantas didatangkanlah gergaji dan diletakkan di tengah kepalanya. Lalu dibelahlah kepalanya dan terjatuhlah belahan kepala tersebut. Setelah itu, sahabat dekat raja didatangkan pula, ia pun diperintahkan hal yang sama dengan pendeta, “Kembalilah pada ajaranmu!” Ia pun enggan. Lantas (terjadi hal yang sama), didatangkanlah gergaji dan diletakkan di tengah kepalanya. Lalu dibelahlah kepalanya dan terjatuhlah belahan kepala tersebut.
ثُمَّ جِىءَ بِالْغُلاَمِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ. فَأَبَى فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى جَبَلِ كَذَا وَكَذَا فَاصْعَدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَإِذَا بَلَغْتُمْ ذُرْوَتَهُ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلاَّ فَاطْرَحُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَصَعِدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ. فَرَجَفَ بِهِمُ الْجَبَلُ فَسَقَطُوا وَجَاءَ يَمْشِى إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ. فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَاحْمِلُوهُ فِى قُرْقُورٍ فَتَوَسَّطُوا بِهِ الْبَحْرَ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلاَّ فَاقْذِفُوهُ. فَذَهَبُوا بِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ. فَانْكَفَأَتْ بِهِمُ السَّفِينَةُ فَغَرِقُوا وَجَاءَ يَمْشِى إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ.
Kemudian giliran pemuda tersebut yang didatangkan. Ia diperintahkan hal yang sama, “Kembalikan pada ajaranmu!” Ia pun enggan. Kemudian anak itu diserahkan kepada pasukan raja. Raja berkata, “Pergilah kalian bersama pemuda ini ke gunung ini dan itu. Lalu dakilah gunung tersebut bersamanya. Jika kalian telah sampai di puncaknya, lalu ia mau kembali pada ajarannya, maka bebaskan dia. Jika tidak, lemparkanlah ia dari gunung tersebut.” Lantas pasukan raja tersebut pergi bersama pemuda itu lalu mendaki gunung. Lalu pemuda ini berdoa, “Ya Allah, cukupilah aku dari tindakan mereka dengan kehendak-Mu.” Gunung pun lantas berguncang dan semua pasukan raja akhirnya jatuh. Pemuda itu kembali berjalan menuju raja. Ketika sampai, raja berkata pada pemuda, “Apa yang dilakukan teman-temanmu tadi?” Pemuda tersebut menjawab, “Allah Ta’ala telah mencukupi dari tindakan mereka.” Lalu pemuda ini dibawa lagi bersama pasukan raja. Raja memerintahkan pada pasukannya, “Pergilah kalian bersama pemuda ini dalam sebuah sampan menuju tengah lautan. Jika ia mau kembali pada ajarannya, maka bebaskan dia. Jika tidak, tenggelamkanlah dia.” Mereka pun lantas pergi bersama pemuda ini. Lalu pemuda ini pun berdoa, “Ya Allah, cukupilah aku dari tindakan mereka dengan kehendak-Mu.” Tiba-tiba sampan tersebut terbalik, lalu pasukan raja tenggelam. Pemuda tersebut kembali berjalan mendatangi raja. Ketika menemui raja, ia pun berkata pada pemuda, “Apa yang dilakukan teman-temanmu tadi?” Pemuda tersebut menjawab, “Allah Ta’ala telah mencukupi dari tindakan mereka.”
فَقَالَ لِلْمَلِكِ إِنَّكَ لَسْتَ بِقَاتِلِى حَتَّى تَفْعَلَ مَا آمُرُكَ بِهِ. قَالَ وَمَا هُوَ قَالَ تَجْمَعُ النَّاسَ فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَتَصْلُبُنِى عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ خُذْ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِى ثُمَّ ضَعِ السَّهْمَ فِى كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قُلْ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلاَمِ.
ثُمَّ ارْمِنِى فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ قَتَلْتَنِى. فَجَمَعَ النَّاسَ فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ أَخَذَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ وَضَعَ السَّهْمَ فِى كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلاَمِ. ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِى صُدْغِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ فِى صُدْغِهِ فِى مَوْضِعِ السَّهْمِ فَمَاتَ فَقَالَ النَّاسُ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ.
Ia pun berkata pada raja, “Engkau tidak bisa membunuhku sampai engkau memenuhi syaratku.” Raja pun bertanya, “Apa syaratnya?” Pemuda tersebut berkata, “Kumpulkanlah rakyatmu di suatu bukit. Lalu saliblah aku di atas sebuah pelepah. Kemudian ambillah anak panah dari tempat panahku, lalu ucapkanlah, “Bismillah rabbil ghulam, artinya: dengan menyebut nama Allah Tuhan dari pemuda ini.” Lalu panahlah aku karena jika melakukan seperti itu, engkau pasti akan membunuhku.” Lantas rakyat pun dikumpulkan di suatu bukit. Pemuda tersebut pun disalib di pelepah korma, lalu raja tersebut mengambil anak panah dari tempat panahnya kemudian diletakkan di busur. Setalah itu, ia mengucapkan, “Bismillah rabbil ghulam, artinya: dengan menyebut nama Allah Tuhan dari pemuda ini.” Lalu dilepaslah dan panah tersebut mengenai pelipisnya (yaitu antara telinga dengan mata). Lalu pemuda tersebut memegang pelipisnya tempat anak panah tersebut menancap, lalu ia pun mati. Rakyat yang berkumpul tersebut lalu berkata, “Kami beriman pada Tuhan pemuda tersebut. Kami beriman pada Tuhan pemuda tersebut.”
فَأُتِىَ الْمَلِكُ فَقِيلَ لَهُ أَرَأَيْتَ مَا كُنْتَ تَحْذَرُ قَدْ وَاللَّهِ نَزَلَ بِكَ حَذَرُكَ قَدْ آمَنَ النَّاسُ. فَأَمَرَ بِالأُخْدُودِ فِى أَفْوَاهِ السِّكَكِ فَخُدَّتْ وَأَضْرَمَ النِّيرَانَ وَقَالَ مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ فَأَحْمُوهُ فِيهَا. أَوْ قِيلَ لَهُ اقْتَحِمْ. فَفَعَلُوا حَتَّى جَاءَتِ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِىٌّ لَهَا فَتَقَاعَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا فَقَالَ لَهَا الْغُلاَمُ يَا أُمَّهِ اصْبِرِى فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ
Raja datang, lantas ada yang berkata, “Apa yang selama ini engkau khawatirkan? Sepertinya yang engkau khawatirkan selama ini benar-benar telah terjadi. Manusia saat ini telah beriman pada Tuhan pemuda tersebut.” Lalu raja tadi memerintahkan untuk membuat parit di jalanan lalu dinyalakan api di dalamnya. Raja tersebut pun berkata, “Siapa yang tidak mau kembali pada ajarannya, maka lemparkanlah ia ke dalamnya.” Atau dikatakan, “Masuklah ke dalamnya.” Mereka pun melakukannya, sampai ada seorang wanita bersama bayinya. Wanita ini tidak berani maju untuk masuk di dalamnya. Anaknya pun lantas berkata, “Wahai ibu, bersabarlah karena engkau di atas kebenaran.” (HR. Muslim no. 3005).
Inilah salah satu tafsiran dari para ahli tafsir tentang makna firman Allah pada ayat ini. Bahwasanya terlaknatlah orang-orang yang membuat parit dengan tujuan untuk menyiksa orang-orang beriman.
Muqotil berpendapat bahwa parit-parit yang dijadikan lokasi untuk membakar orang-orang yang beriman ada 3 parit, di Yaman, di Iraq, dan di Syam. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/364)
Kemudian Allah berfirman:
النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ
“Yang berapi (yang mempunyai) kayu bakar”
Parit-parit tersebut bukan parit-parit yang kosong, tetapi berisi api yang menyala-nyala. Dimana orang-orang beriman tersebut dilemparkan ke dalamnya. Apinya tidak pernah mati karena terus disediakan kayu bakarnya. (At-Tahrir wa At-Tanwir 30/243)
Allah berfirman:
إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ
“Ketika mereka duduk di sekitarnya”
Apa yang mereka lakukan merupakan kejahatan yang luar biasa, raja dan anak buahnya telah mengumpulkan berbagai macam kemungkaran. Pertama, mereka kafir kepada Allah, Kedua, mereka memusuhi wali-wali Allah, Ketiga, mereka membunuh dan membakar para wali-wali Allah, Keempat, mereka juga berlezat-lezat menyaksikan orang-orang yang beriman itu disiksa dan dibakar hidup-hidup.
Pendapat lain yaitu kaum mukminin dan mukminat yang disiksa tersebut diikat dalam kondisi duduk sebelum dibakar, dan ini agar mereka semakin pedih tatkala dibakar (lihat At-Tahrir wa At-Tanwiir 30/243)
Allah berfirman:
وَهُمْ عَلَىٰ مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ
“Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka lakukan terhadap orang-orang mukmin”
Sebagaimana tafsir pada ayat ketiga bahwasanya salah satu penafsiran ulama terhadap kata syahid adalah orang-orang yang menyaksikan orang-orang mukmin dibakar dan mereka berlezat-lezat dengan itu. Dengan merekalah Allah bersumpah, karena perbuatan mereka yang sangat sadis. Lihatlah bagaimana sang pendeta digergaji dari atas kepalanya sampai ke bawah. Sang pemuda yang dipanah, kemudian setelah itu orang-orang mukmin dibakar hidup-hidup. Semua itu bukanlah perkara yang ringan. Oleh karena itu Allah bersumpah dengan mereka.
Kemudian Allah berfirman:
وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَن يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah yang Maha Perkasa, Maha Terpuji”
Orang-orang mukmin itu disiksa bukan karena melakukan keburukan-keburukan yang membuat raja murka sehingga raja menghukumnya. Namun tidak ada sebab lain melainkan karena mereka beriman kepada Allah. Demikianlah sunnatullah yang akan terus terjadi di alam semesta ini, bahwasanya orang-orang yang berbuat kebaikan akan dimusuhi. Mereka akan dimusuhi oleh orang-orang buruk, yang berlawanan dengan kebaikan tersebut.
Oleh karena itu, kita dapati wanita-wanita yang berjilbab sangat dimusuhi oleh wanita-wanita yang tidak berjilbab karena mereka tidak suka dengan wanita-wanita yang berjilbab. Mereka ingin semua wanita membuka aurat seperti mereka. Orang-orang yang rajin ke mesjid akan dimusuhi oleh orang yang tidak rajin ke mesjid, dan sebagainya. Hal ini akan terus berlaku hingga hari kiamat bahwasanya ahlul haq akan selalu dimusuhi oleh ahlul bathil, hanya karena para ahlul haq itu menyembah dan mentauhidkan Allah. Seperti yang terjadi pada kaum nabi Luth. Kaum Nabi Luth yang melaksanakan praktek homoseksual memusuhi orang-orang yang tidak mempraktekkan homoseksual diantaranya Nabi Luth dan para pengikutnya. Allah berfirman menceritakan perkataan mereka terhadap Nabi Luth dan pengikutnya:
فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَن قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِّن قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ
“Jawaban kaumnya tidak lain hanya dengan mengatakan, “Usirlah Luth dan keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (menganggap dirinya) suci.”” (QS An-Naml : 56)
Orang yang tidak melaksanakan praktek homoseksual dikatakan sok suci oleh mereka yang melaksanakan praktek homoseksual. Oleh karena itu, jangan kita menyangka bahwasanya beragama itu akan mulus-mulus saja, tidak akan ada musuh bagi mereka yang selalu berbuat kebaikan. Sesungguhnya orang-orang yang selalu berbuat kebaikan maka musuhnya adalah orang-orang yang tidak suka dengan kebaikan tersebut. Karena orang-orang yang suka melakukan kemaksiatan dan keburukan ingin agar orang-orang di sekitarnya mengikuti jejaknya sehingga dia pun memusuhi orang-orang baik.
Allah berfirman:
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Yang miliknyalah kerajaan langit dan bumi. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”
oleh karenanya para ulama berkata إِنَّ اللهَ يُمْهِلُ وَلاَ يُهْمِلُ ‘’Sesungguhnya Allah menunda siksaan namun Allah tidak lalai’’. Jangan disangka ketika orang-orang kafir dan orang-orang dzalim diberi kebebasan oleh Allah, diberi kekayaan oleh Allah, menunjukkan bahwasanya Allah lalai dari mereka. Ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan lalai, tetapi Allah hanya menunda azab mereka.
Bisa jadi Allah akan mengazab mereka di penghujung hayat mereka. Atau kalau tidak maka Allah akan mengazab mereka di akhirat kelak. Allah berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
“Dan janganlah kau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesunguhnya Alah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS Ibrahim : 42)
Seakan-akan Allah mempersilahkan orang-orang kafir dan dzalim itu mengganggu orang-orang mukmin, karena Allah tidak akan lalai dari apa yang mereka lakukan dan sesungguhnya Allah menyaksikan apa yang telah mereka perbuat.
Kemudian Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan (membakar) kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan lalu mereka tidak bertaubat, maka mereka akan mendapat azab”
فَتَنُوا disini maksudnya adalah membakar kaum mukminin. Secara umum diartikan menyiksa tetapi dalam bahasa arab فِتَنٌ artinya adalah membakar. Oleh karena itu dikatakan الذَهَبَ الْفَتِيْنٍ yang artinya emas yang telah dibakar. Emas itu dibakar karena ingin dihilangkan dari kotoran-kotoran yang tercampur padanya. Sehingga ungkapan ini cocok dengan apa yang terjadi dalam kisah tersebut.
Ayat ini selain memberi ancaman keras kepada orang-orang dzlaim akan tetapi ayat ini sekaligus juga paling memberi pengharapan kepada pelaku kemaksiatan, kepada pelaku pembakaran orang-orang mukmin tersebut. Karena Allah mempersyaratkan untuk menurunkan adzab kepada mereka dengan syarat ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا ‘’Lalu mereka tidak bertaubat’’. Ini menunjukan bahwa seandainya mereka -para pembakar- tersebut bertaubat maka taubat mereka akan diterima oleh Allah dan mereka tidak jadi di siksa.
Al-Hasan Al-Bashri berkata:
انْظُرُوا إِلَى هَذَا الْكَرَمِ وَالْجُودِ قَتَلُوا أَوْلِيَاءَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى التَّوْبَةِ والمغفرة
‘’Lihatlah kepada kebaikan dan kedermawanan Allah ini, mereka telah membunuh (membakar) wali-wali Allah, sementara Allah mengajak mereka untuk bertaubat dan ampunanNya’’ (Tafsir Ibnu Katsir 8/365)
Padahal mereka telah menyiksa kaum mukminin, mereka juga berlezat-lezat menyaksikan pembakaran itu. Jika kita membayangkan perbuatan sadis yang mereka lakukan mungkin kita akan menganggap bahwa orang seperti ini tidak mungkin diterima taubatnya. Jangankan membakar kaum mukminin, membunuh dan membakar orang mukmin satu saja, mungkin kita akan emosi dan menurut akal kita taubatnya tidak akan diterima, maka bagaimana lagi dengan mereka yang membakar ribuan kaum mukminin, lebih dari itu mereka tidak merasa bersalah dan malah berlezat-lezatan menyaksikan pembakaran, tidak mungkin Allah mengampuninya. Namun cara pandang Allah lain, Allah akan mengazab mereka jika tidak bertaubat.
Kata para ulama, ini menunjukkan bahwasanya seandainya setelah menyiksa dan membakar kaum mukminin dan mukminat mereka bertaubat, niscaya taubatnya akan diterima oleh Allah, dan ini menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah. Oleh karena itu Allah berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar : 53)
Hidayah adalah hak Allah. Terkadang kita melihat orang yang benar-benar terjerumus dalam kemaksiatan dan kita menganggap orang tersebut tidak mungkin sadar, tetapi kenyataan berbicara lain, ternyata dia sadar dan bertaubat. Oleh karena itu, hendaknya kita tidak lelah untuk mendakwahi orang, karena bisa jadi dia bertaubat setelah itu. Firaun saja yang tidak mungkin bertaubat, Allah menyuruh Nabi Musa untuk mendakwahinya padahal Allah sudah tahu dia tidak mungkin bertaubat. Bagaimana pula yang kejahatannya di bawah Firaun, mereka lebih berhak untuk didakwahi. Perhatikanlah kisah pembunuh 99 nyawa yang terbetik dalam hatinya untuk bertaubat. Sebagaimana dikisahkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وتِسْعينَ نَفْساً ، فَسَأَلَ عَنْ أعْلَمِ أَهْلِ الأرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ ، فَأَتَاهُ . فقال : إنَّهُ قَتَلَ تِسعَةً وتِسْعِينَ نَفْساً فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوبَةٍ ؟ فقالَ : لا ، فَقَتَلهُ فَكَمَّلَ بهِ مئَةً ، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ . فقَالَ : إِنَّهُ قَتَلَ مِئَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فقالَ : نَعَمْ ، ومَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ انْطَلِقْ إِلى أرضِ كَذَا وكَذَا فإِنَّ بِهَا أُناساً يَعْبُدُونَ الله تَعَالَى فاعْبُدِ الله مَعَهُمْ ، ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ ، فانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ ، فاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ ومَلائِكَةُ العَذَابِ . فَقَالتْ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِباً ، مُقْبِلاً بِقَلبِهِ إِلى اللهِ تَعَالَى ، وقالتْ مَلائِكَةُ العَذَابِ : إنَّهُ لمْ يَعْمَلْ خَيراً قَطُّ ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ في صورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ– أيْ حَكَماً – فقالَ : قِيسُوا ما بينَ الأرضَينِ فَإلَى أيّتهما كَانَ أدنَى فَهُوَ لَهُ . فَقَاسُوا فَوَجَدُوهُ أدْنى إِلى الأرْضِ التي أرَادَ ، فَقَبَضَتْهُ مَلائِكَةُ الرَّحمةِ
“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, “Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak akan diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya. Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.” Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya, ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” (HR Bukhari dan Muslim no. 2766)
Taubatnya diterima oleh Allah menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah. Apabila kita terjerumus dalam kemaksiatan, hendaknya kita segera bertaubat. Jangan hiraukan orang yang mengatakan bahwasanya taubat kita tidak akan diterima karena setan ingin kita meninggal dalam keadaan tidak bertaubat. Jika kita meninggal dalam keadaan tidak bertaubat maka kecelakaan bagi kita di akhirat. Lihatlah seberapa besar dosa para penyiksa orang-orang mukmin itu, mereka kafir kepada Allah, membunuh dan membakar wali-wali Allah, lebih dari itu mereka berlezat-lezat menyaksikannya namun ternyata masih ditawari taubat oleh Allah. Namun jika mereka tidak bertaubat maka bagi mereka azab neraka jahanam dan bagi mereka azab yang membakar. Al–jaza’ min jinsil ‘amal, balasan itu sesuai dengan perbuatan. Seseorang yang menyiksa kaum muminin dengan cara membakarnya maka di akhirat kelak dia akan dibakar oleh Allah.
Kemudian Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, itulah kemenangan yang agung”
Allah menjelaskan bahwasanya meskipun orang-orang mukmin itu disiksa dan dibunuh, sesungguhnya itu adalah kebaikan bagi mereka karena Allah ingin menyegerakan mereka mendapatkan kelezatan dan kenikmatan dengan cara mematikan mereka daripada terus hidup tanpa adanya kenikmatan yang mereka rasakan. Meskipun dengan cara yang terlihat mengerikan yaitu dibakar, tetapi sesungguhnya begitu meninggal dunia, mereka langsung mendapatkan kenikmatan dari Allah. Di akhirat nanti, bagi mereka taman-taman dan kebun-kebun indah yang berisi buah-buahan, di dalamnya berisi kenikmatan dan kelezatan yang mereka kehendaki, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Allah berfirman:
مَّثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ ۖ فِيهَا أَنْهَارٌ مِّن مَّاءٍ غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِّن لَّبَنٍ لَّمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِّنْ خَمْرٍ لَّذَّةٍ لِّلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِّنْ عَسَلٍ مُّصَفًّى ۖ
“Perumpamaan taman surga yang dijanjikan pada orang-orang yang bertakwa; disana ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai khamr (anggur yang tidak memabukkan) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni.” (QS Muhammad : 15)
Dan tentunya ini hanyalah sekedar penamaan, hakikat yang sebenarnya tidak akan sama antara madu dunia dengan madu akherat, tidak akan sama antara khamr dunia dan khamr akherat, begitupun tidak akan sama antara susu dunia dengan susu akherat. Akan tetapi demikianlah sungai-sungai yang ada di surga, sedikit gambaran yang Allah berikan kepada kita.
Kemudian Allah berfirman:
إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya, adzab Tuhanmu sangat pedih”
Allah juga berfirman dalam ayat yang lain:
وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۚ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ
“Dan demikianlah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya siksa-Nya sangat pedih, sangat berat.” (QS Hud : 102)
Adzab Allah yang sangat pedih ini mencakup adzab di dunia, di alam barzakh, dan di akhirat. Kita -di dunia- sudah melihat berbagai macam kejadian yang menimpa orang-orang yang sombong, orang-orang yang angkuh yang merasa dirinya hebat, bagaimana Allah mematikan mereka, mereka meninggal dalam keadaan yang menyakitkan, dan dalam keadaan tersiksa. Dan betapa banyak negeri-negeri yang hancur lebur karena kesombongan yang meliputi diri mereka, kemudian Allah hancurkan mereka.
Kemudian Allah berfirman:
إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ
“Sesungguhnya, Dialah yang memulai dan mengulangi”
Ada 2 tafsiran di kalangan para ulama tentang maksud dari ayat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa Dialah Allah yang memulai penciptaan dan Dialah yang akan mengulangi penciptaan tersebut dengan membangkitkan manusia pada hari kiamat kelak. Pendapat kedua mengatakan bahwa Dialah Allah yang memulai penyiksaan terhadap orang-orang dzalim di dunia dan di akherat kelak Allah akan mengulangi menyiksanya dengan siksaan yang lebih dahsyat. (At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/248)
Kemudian Allah berfirman:
وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ
“Dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”
Diantara sifat Allah adalah sifat ghufran yaitu sifat mengampuni, sehingga salah satu nama Allah adalah Al-Ghafur yaitu Yang Maha Mengampuni. Diambil dari kata maghfirah yang dalam bahasa arab bermakna menutupi dan melindungi. Jika kita memohon maghfirah kepada Allah itu artinya kita memohon agar Allah tidak membuka aib kita dan di akherat Allah tidak menampakkannya ke khalayak ramai dan juga agar Allah tidak menimpakan kita akibat buruk dosa kita. Oleh karena itu, tatkala kita berdoa astaghfirullah wa atubu ilaika, maka doa ini mencakup taubat dan maghfirah, dimana taubat lebih dikhusususkan untuk pengampunan dosa, adapun maghfirah lebih dikhususkan agar aib-aib kita ditutupi baik di dunia maupun di akhirat.
Ibnu Rojab al-Hanbali berkata:
وَالِاسْتِغْفَارُ: طَلَبُ الْمَغْفِرَةِ، وَالْمَغْفِرَةُ: هِيَ وِقَايَةُ شَرِّ الذُّنُوبِ مَعَ سِتْرِهَا
“Istighfar adalah memohon maghfiroh, dan maghfiroh adalah menjaga dari akibat buruknya dosa disertai dengan tertutupnya dosa” (Jaami al-‘Uluum wa al-Hikam 2/407)
Jadi istighfar bukan hanya meminta agar dosa kita tertutup saja. Ibnul Qoyyim berkata tentang istighfar:
طَلَبَ الْمَغْفِرَةِ مِنَ اللَّهِ، وَهُوَ مَحْوُ الذَّنْبِ، وَإِزَالَةُ أَثَرِهِ، وَوِقَايَةُ شَرِّهِ، لَا كَمَا ظَنَّهُ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّهَا السَّتْرُ، فَإِنَّ اللَّهَ يَسْتُرُ عَلَى مَنْ يَغْفِرُ لَهُ وَمَنْ لَا يَغْفِرُ لَهُ … وَحَقِيقَتُهَا وِقَايَةُ شَرِّ الذَّنْبِ، وَمِنْهُ الْمِغْفَرُ، لِمَا يَقِي الرَّأْسَ مِنَ الْأَذَى، وَالسَّتْرُ لَازِمٌ لِهَذَا الْمَعْنَى، وَإِلَّا فَالْعِمَامَةُ لَا تُسَمَّى مِغْفَرًا، وَلَا الْقُبَّعُ وَنَحْوُهُ مَعَ سَتْرِهِ، فَلَا بُدَّ فِي لَفْظِ الْمِغْفَرِ مِنَ الْوِقَايَةِ
“Yakni memohon maghfiroh dari Allah, yaitu terhapusnya dosa dan menghilangkan dampak/bekas dosa tersebut, serta perlindungan dari (akibat) buruk dosa tersebut. Tidak sebagaimana persangkaan sebagian orang bahwasanya maghfiroh maknanya hanyalah as-sitr (terutupnya dosa). Karena Allah menutup dosa (tidak membongkarnya) bagi orang yang meminta maghfiroh dan orang yang tidak meminta maghfiroh… dan hakikat maghfiroh adalah perlindungan dari keburukan dosa, diantara makna ini adalah al-mighfar (yaitu penutup kepala yang digunakan oleh prajurit perang-pen) karena fungsinya melindungi kepala dari gangguan. Adapun tertutupnya kepala maka itu merupakan kelaziman dari pelindung. Karenanya sorban dan songkok tidak dinamakan mighfar meskipun menutup, maka maghfiroh harus mengandung makna perlindungan/penjagaan” (Madaarijus Saalikiin 1/314-315)
Sesungguhnya diantara rahmat Allah adalah Allah menutupi aib-aib dan dosa-dosa kita. Apabila kita dimuliakan orang lain, kita dihormati orang lain, semua itu bukan karena kemuliaan dan bukan pula karena amal kebajikan kita, tetapi karena aib kita yang tidak dibuka oleh Allah. Seandainya satu saja aib kita dibuka oleh Allah niscaya tidak akan ada yang mau dekat dengan kita. Sebagaimana perkataan Muhammad bin Wasi’ rahimahullah:
لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا جَلَسَ إِلَيَّ أَحَدٌ
“Kalau seandainya dosa-dosa itu ada baunya, niscaya tidak seorangpun yang akan duduk dekat denganku.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/120)
Berkata pula salah seorang penyair:
وَاللهِ لَوْ عَلِمُوْا قَبِيْحَ سَرِيْرَتِيْ لَأَبَى السَلَامَ عَلَيَّ مَنْ يَلْقَانِي
“Demi Allah seandainya mereka mengetahui hakekat rahasiaku tatkala aku bersendirian, maka setiap orang yang bertemu denganku tidak akan mau memberi salam kepadaku.” (Nuniyah Al-Qahthany)
Oleh karena itu kita bersyukur kepada Allah Al-Ghafur yang telah menutupi aib-aib kita, keburukan-keburukan dan maksiat-maksiat yang pernah kita lakukan. Kalau saja Allah membuka aib kita, maka binasalah kita.
Para ulama mengatakan bahwa suatu saat aib seorang hamba dibuka biasanya itu adalah pertanda bahwa ia terlalu sering melakukan aib tersebut. Karena ketika seorang hamba melakukan keburukan pertama kali, maka biasanya dosanya akan ditutupi oleh Allah terlebih dahulu, biasanya tidak ada yang langsung dibuka. Namun jika dia terus-menerus dan tidak berhenti melakukan kemaksiatan tersebut maka suatu saat aibnya tersebut akan dibuka oleh Allah.
Allah mengatakan bahwa Dia Al-Ghafur yaitu Maha Pengampun dengan menutupi aib-aib dan Al-Wadud yaitu Maha Mencintai orang-orang yang beriman kepada Allah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan bahwasanya ayat ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap kalau seorang hamba yang bermaksiat kemudian bertaubat maka dia tidak akan dicintai oleh Allah. Tetapi barang siapa yang berdosa kemudian bertaubat kepada Allah maka taubatnya akan diterima oleh Allah lalu Allah akan kembali mencintainya. Itulah rahasia digandengkannya antara الْغَفُورُ ‘’Yang Maha Pengampun’’ dan الْوَدُودُ ‘’Yang Maha Mencintai’’ (Lihat Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan hal 918)
Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِى ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِى وَأَنَا رَبُّكَ.أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat pada-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang berada di atas kendaraannya dan berada di suatu tanah yang luas (padang pasir), kemudian hewan yang ditungganginya lari meninggalkannya. Padahal pada hewan tunggangannya itu ada perbekalan makan dan minumnya. Sehingga ia pun menjadi putus asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon dan tidur berbaring di bawah naungannya dalam keadaan hati yang telah berputus asa. Tiba-tiba ketika ia dalam keadaan seperti itu, kendaraannya tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Karena sangat gembiranya, maka ia berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ Ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya.” (HR. Muslim no. 2747).
Orang ini sangat gembira karena dia menyangka bahwasanya dirinya akan meninggal tetapi ternyata selamat. Namun Allah lebih gembira dengan taubatnya seorang hamba daripada gembiranya orang ini. Oleh karena itu, jika seseorang berdosa maka hendaknya segera bertaubat kepada Allah. Bahkan ketika dia kembali melakukan dosa yang dahulu juga pernah dilakukannya. Hendaknya dia tidak suudzan kepada Allah, ketika dia mulai ragu dan suudzan kepada Allah maka dia telah dimasuki oleh syaithan. Syaithan ingin agar dia meninggal dalam keadaan tidak bertaubat kepada Allah.
Kemudian Allah berfirman:
ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ
“Yang memiliki ‘Arsy, lagi Maha Mulia”
Diantara aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu meyakini bahwasanya Allah punya ‘Arsy. Patut diketahui bahwa ‘Arsy bukanlah bermakna kekuasaan Allah tetapi ‘Arsy merupakan singgasana yang hakiki. Dan singgasana Allah ini akan dipikul oleh delapan malaikat pada hari kiamat kelak. Allah berfirman:
وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
“Dan para malaikat berada di berbagai penjuru langit. Pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy (singgasana) Tuhanmu di atas (kepala) mereka.” (QS Al-Haqqah : 17)
Allah juga mempunyai Kursi dimana Allah berfirman:
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ
“Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.” (QS Al-Baqarah : 255)
Dalam sebuah hadits, dijelaskan tentang perbandingan antara ‘Arsy dan Kursi Allah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ تِلْكَ الْفَلاَةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلْقَةِ
“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
Allah beristiwa’ diatas ‘Arsy tersebut namun Allah tidak butuh dengan ‘Arsy tersebut. Tetapi hal ini tidak lantas berkonsekuensi bahwa Allah lebih kecil daripada ‘Arsy, Allah butuh kepada ‘Arsy, apabila ‘Arsy jatuh maka Allah akan ikut jatuh. Maha Suci Allah dari pemahaman yang bathil tersebut. Lihatlah langit yang berada di atas bumi, bersamaan dengan hal tersebut langit lebih luas dari bumi dan langit tidak butuh kepada yang di bawahnya yaitu bumi. Begitupun dengan Allah yang lebih di atas dari ‘Arsy yang tidak berkonsekuensi Allah butuh kepada ‘Arsy.
Intinya ‘Arsy adalah singgasana Allah yang sangat besar, kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Pada hari kiamat kelak ‘Arsy akan dipikul oleh delapan malaikat Allah. Padahal malaikat itu sendiri adalah makhluk Allah yang sangat besar. Disebutkan dalam satu hadist, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُذِنَ لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلَائِكَةِ اللَّهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ، إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةُ سَبْعِ مِائَةِ عَامٍ
“Telah diizinkan bagiku untuk menceritakan tentang seorang malaikat diantara malaikat-malaikat pemikul ‘Arsy. Sesungguhnya apa yang ada diantara dua daun telinganya sampai ke pundaknya adalah sejauh perjalanan 700 tahun.” (HR Abu Dawud no. 4727 dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 151)
Ini adalah gambaran yang amat menakjubkan. Jarak antara daun telinganya saja dengan pundaknya sejauh perjalanan 700 tahun. Bagaimana dengan jarak antara kepala hingga kakinya, jarak antara sayap-sayapnya, jarak antara satu malaikat dengan malaikat lainnya. Bahkan At-Thibi berkata bahwa angka 700 ini bukan untuk pembatasan akan tetapi untuk menunjukan jumlah yang sangat banyak. (lihat Faidul Qodiir 1/458). Karena orang Arab jika ingin mengungkapan jumlah yang banyak dengan untkapan 70 atau 700. Semua ini menunjukkan ‘Arsy Allah begitu luas. Kita saksikan betapa luasnya langit, padahal ‘Arsy itu lebih luas daripada langit.
Kemudian Allah berfirman:
فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
‘’Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya’’
Allah lah satu-satunya yang jika berkehendak maka tinggal berkata ‘’Kun’’ (jadilah) ‘’Fayakuun’’ (maka terjadilah). Allah tidak membutuhkan penolong sama sekali dan tidak ada yang menentang sama sekali. Hal ini berbeda dengan manusia, jika berkehendak sesuatu biasanya perlu penolong dan biasanya ada yang menentang, tidak bisa berkehendak secara mutlaq. (lihat Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan hal 918). Bahkan betapa banyak raja yang hebat dan presiden yang hebat, tatkala menghendaki sesuatu mereka perlu penolong dan ada saja yang protes dan menjadi oposisi terhadap kehendak mereka.
Setelah itu Allah menyebutkan sebagian tindakan Allah yang menunjukan akan kebenaran para Rasul-Nya. Allah berfirman:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْجُنُودِ
“Sudahkah sampai kepadamu berita tentang bala tentara (penentang)”
فِرْعَوْنَ وَثَمُودَ
“(yaitu) Fir’aun dan Tsamud?”
Bagaimana mereka telah mendustakan para Rasul-Nya, maka Allahpun membinasakan mereka.
بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي تَكْذِيبٍ
“Memang orang-orang kafir (selalu) mendustakan”
Mereka terus mendustakan padahal telah datang banyak peringatan dan pelajaran serta tanda-tanda kebesaran Allah. Semua itu tidak bermanfaat bagi mereka, mereka tetap tidak beriman.
وَاللَّهُ مِن وَرَائِهِم مُّحِيطٌ
“Padahal Allah mengepung dari belakang mereka (sehingga tidak dapat lolos)”
Yaitu ilmu Allah dan kekuasaan-Nya meliputi mereka.
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ
“Bahkan (yang didustakan itu) ialah Al-Quran yang mulia (luas)”
مَّجِيدٌ Mengandung sifat الْمَجْدُ al-Majd, yaitu Al-Qur’an luas kandungan maknanya dan luas ilmu dan kebaikannya.
فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ
“yang (tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (Lauh Mahfuzh)”
Sehingga terjaga dari perubahan dan pengurangan, serta terjaga dari syaitan.
Sumber: https://firanda.com/