Sebagaimana juga yang telah berlalu pada tafsir Surat At-Takwir dan Surat Al-Infithar, bahwasanya dalam sebuah hadist shahih, Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ كَأَنَّهُ رَأْيُ عَيْنٍ. فَلْيَقْرَأْ: إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ، وَإِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ، وَإِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ“Barangsiapa yang ingin merasakan hari kiamat seperti menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, hendaklah ia membaca “idza syamsu kuwirat, idza syamaaunfatarat, dan idza syamaaunsyaqat”. (HR At-Tirmidzi no. 3333)
Para ulama telah bersepakat bahwa Surat Al-Insyiqaq adalah surat Makiyyah. Oleh karena itu, surat ini fokus membantah pemikiran-pemikiran para kafir Quraisy Mekkah berkaitan dengan masalah hari kiamat, dimana mereka mengingkarinya dan menyangka bahwasanya tidak ada hari kiamat.
Allah membuka surat ini dengan firman-Nya:
1. إِذَا السَّمَاءُ انشَقَّتْ
“Apabila langit terbelah”
Telah berlalu penjelasan bahwasanya langit merupakan makhluk Allah yang terbesar dan terluas yang bisa kita saksikan. Allah berfirman:
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Kami benar-benar meluaskannya.” (QS Adz-Dzariyat : 47)
Tidak ada makhluk yang lebih besar dari langit yang bisa kita saksikan sekarang. Bahkan matahari, rembulan, bintang-bintang, dan semua benda langit lainnya berada dalam lingkaran langit, bahkan tidak ada yang mengetahui dimana. Semua manusia dapat menyaksikannya dimanapun ia berada, baik yang tingal di daerah kutub atau daerah khatulistiwa, di benua manapun mereka akan melihat langit. Hal ini menunjukkan betapa luasnya langit. Oleh karena itu, Allah menjadikan langit sebagai ayat.
Pada suatu hari kelak fenomena-fenomena alam yang kita lihat sekarang ini akan berubah semua. Manusia jangan menyangka bahwasanya hari-hari yang berjalan sekarang akan seterusnya demikian. Kelak akan sampai pada suatu hari dimana semua akan berubah, sebagai pertanda akan datang hari yang lain yaitu hari kiamat, hari akhirat yang tiada penghujungnya. Diantara perubahan-perubahan dahsyat tersebut seperti matahari yang terbit dari barat yang sebelumnya terbit dari timur, demikian juga langit-langit yang kokoh yang tidak berlubang namun kelak Allah akan membelahnya.
Telah disebutkan bahwasanya awal mulanya langit akan perlahan-lahan mulai terbelah yang disebut dengan infithar kemudian setelah terbelah secara sempurna berlubang-lubang maka disebut dengan insyiqaq. Setelah itu langit-langit menjadi lemah lantas langit-langit tersebut akan dilepas oleh Allah sebagaimana kulit yang dicabut dari seekor hewan, dan kemudian dilipat oleh Allah. (lihat kembali tafsir surat al-infithor)
Kemudian Allah berfirman:
2. وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ
“Dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh”
Salah satu makna أَذِنَتْ dalam bahasa Arab adalah اِسْتَمَعَتْ yaitu mendengar dan taat. Hal ini sebagaimana sabda Nabi:
مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالقُرْآنِ
Artinya adalah مَا اسْتَمَعَ اللَّهُ لِشَيْءٍ ‘’Tidaklah Allah mendengar sesuatu seperti Allah mendengarnya Allah terhadap seorang Nabi yang melantunkan al-Qur’an’’ (HR Al-Bukhari no 5024 dan Muslim no 792, lihat penjelasan At-Thobari dalam Tafsirnya 24/230)
وَحُقَّتْ artinya وَأَطَاعَتْ (lihat Tafsir At-Thobari 24/231)
Maka langit itu taat dan mendengar apa kata Allah tatkala dia dirubah, ia patuh kepada Allah untuk dibelah oleh Allah. Sebagaimana langit telah taat sebelumnya kepada Allah diawal penciptaannya. Allah berfirman:
ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ
“Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh”.” (QS Fushshilat : 11)
Langit dan bumi selamanya akan taat kepada Allah baik di awal penciptaannya sampai akhir penciptaanya.
وَحُقَّتْ yaitu sebagaimana kata Ibnu Katsir وَحُقَّ لَهَا أَنْ تُطِيعَ أَمْرَهُ sudah semestinya langit taat kepada peruintah Allah, karena Allah adalah Yang Maha Agung Yang Maha Kuasa, semuanya tunduk di bawah aturan dan perintahNya.
Kemudian Allah berfirman:
3. وَإِذَا الْأَرْضُ مُدَّتْ
“Dan apabila bumi diratakan”
Para ulama telah bersepakat bahwa bumi ini bentuknya bulat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
اعْلَمْ أَنَّ الْأَرْضَ قَدْ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهَا كُرَوِيَّةُ الشَّكْلِ
‘’Ketahuilah bahwa para ulama telah sepakat bahwa bumi itu bentuknya bulat’’ (Maajmuu’ al-Fataawaa 5/150)
Dan pada hari kiamat kelak bumi yang bulat yang sekarang dipijak ini akan dibuat datar oleh Allah. Allah berfirman:
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ ۖ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“(yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di padang mahsyar) menghadap Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa.” (QS Ibrahim : 48)
Pada hari kiamat kelak, bumi ini akan diubah oleh Allah dan manusia akan dibangkitkan di atas dataran yang rata, tidak ada gunung dan tidak ada lembah. Semua manusia dikumpulkan mulai dari zaman nabi Adam hingga hari kiamat. Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Aash berkata
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ مُدَّتِ الْأَرْضُ مَدَّ الْأَدِيمِ
“Apabila hari kiamat, maka Allah akan meratakan bumi sebagaimana meratakan kulit.” (Atsar riwayat Al-Hakim no. 8716, dan Ibnu Majah (no 4081) juga meriwayatkan dari Nabi makna yang serupa namun dengan sanad yang lemah dengan lafal:
ثُمَّ تُنْسَفُ الْجِبَالُ، وَتُمَدُّ الْأَرْضُ مَدَّ الْأَدِيمِ ‘
’Gunung-gunung lalu dihancurkan dan bumipun diratakan sebagaimana diratakannya kulit’’)
Demikianlah keadaan bumi akan diratakan sebagaimana ratanya kulit ketika ditarik, tidak ada lekukan, tidak ada turunan, tidak ada gunung tidak ada lembah, semuanya datar. Disitulah manusia nanti akan dibangkitkan oleh Allah, yaitu di atas padang mahsyar yang merupakan bumi yang telah di modifikasi oleh Allah.1
Nabi bersabda:
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى أَرْضٍ بَيْضَاءَ عَفْرَاءَ، كَقُرْصَةِ نَقِيٍّلَيْسَ فِيهَا مَعْلَمٌ لِأَحَدٍ
“Manusia dikumpulkan pada hari kiamat di atas bumi yang putih kemerah-merahan seperti tepung yang bersih, tidak ada penunjuk jalan apapun” (HR Al-Bukhari no 6521)
Ibnu Hajar berkata, ‘’yaitu tidak ada tanda-tanda pemukiman sama sekali, tidak bangunan, tidak ada bekas apapun, tidak ada apapun yang merupakan petunjuk jalan seperti gunung dan batu yang muncul’’ (Fathul Baari 11/375)
Sehingga bumi yang baru -yaitu padang mahsyar- lebih luas dan cukup untuk menampung seluruh manusia yang dibangkitkan oleh Allah untuk dihisab oleh Allah.
Kemudian Allah berfirman:
4. وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ
“Dan menumpahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong”
Bumi sekarang ini mengandung berbagai macam benda. Mulai dari barang tambang, sampai tulang-belulang dan mayat-mayat yang berada di dalam tanah, semua akan dikeluarkan dari bumi tersebut pada hari kiamat. Sehingga bumipun menjadi kosong.
Kemudian Allah berfirman:
5. وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ
“Dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh”
Kemudian Allah berfirman:
6. يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemuinya”
Hukum asalnya, apabila Al-Insan disebut dalam ayat makiyyah, maka yang dimaksudkan adalah orang kafir. Tetapi khusus pada surat Al-Insyiqaq, yang dimaksudkan dengan Al-Insan disini bukan hanya orang kafir, tetapi manusia secara umum (lihat Tafsir al-Qurthubi 19/271). Menimbang ayat-ayat berikutnya yang menyebutkan tentang orang-orang kafir sekaligus orang-orang beriman, sehingga maksud Al-Insan disini adalah seluruh manusia secara umum.
Setiap manusia yang ada di atas muka bumi ini pasti akan merasakan yang namanya kerja keras dan kepayahan. Tidak ada manusia yang bisa rileks secara total, bahkan orang-orang kaya juga memikirkan banyak hal. Ketenangan yang hakiki hanya ada di akhirat.
Dalam ayat ini Allah tidak menyebutkan usaha apa yang dilakukan manusia. Karena usaha seorang manusia mencakup baik itu kebaikan ataupun keburukan. Sesungguhnya dalam ayat dijelaskan setelah itu dia akan menemukan hasilnya. Sebagian mengatakan bahwasanya dia akan bertemu dengan Rabbnya. Namun kedua pendapat ini saling berkaitan. Jika dia bertemu dengan Rabbnya maka dia akan bertemu juga dengan hasil usahanya tersebut di sisi Rabb nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/351). Apapun yang kita kerjakan sekarang ini akan kita lihat hasilnya di akhirat kelak, kebaikan maupun keburukan. Allah berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
“(7) Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya; (8) Dan barang siapa yang mengerjakan keburukan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS Az-Zalzalah : 7-8)
Qotadah berkata :
إِنَّ كَدْحَكَ يَا ابْنَ آدَمَ لَضَعِيفٌ فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَكُونَ كَدْحُهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ فَلْيَفْعَلْ ولا قوة إلا بالله
‘’Wahai anak Adam, sesungguhnya kerja usahamu -bagaimanapun juga- benar-benar lemah. Maka siapa yang mampu usahanya pada ketaatan kepada Allah maka lakukannya, dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah (Tafsir Ibnu Katsir 8/351)
Seakan-akan Qotadah berkata bahwa kerjaan kita, kemampuan kita untuk berbuat dan beramal sangatlah terbatas. Terbatas dari sisi waktu dan dari sisi kekuatan. Maka jangan sampai keterbatasan itu kita gunakan juga untuk bermaksiat kepada Allah.
Hasil perbuatan kita selama di dunia akan kita lihat, diantaranya kita lihat dalam catatan amal kita. Karenanya setelah itu Allah berfirman:
7. فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ
“Maka adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah kanannya”
8. فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
“Maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah”
Semakna dengan ayat tersebut Allah berfirman dalam ayat yang lain:
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ (19) إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ (20)
(19) Adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kanannya, maka dia berkata, “Ambillah, bacalah kitabku (ini); (20) Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku.” (QS Al-Haqqah : 19-20)
Ini adalah kondisi orang yang beriman yang dimuliakan oleh Allah. Dia menerima catatan amalnya dengan tangan kanannya dan dia senang dengan isi catatan amalnya. Dia yakin akan perjumpaannya dengan Allah sehingga dia beramal shalih. Dan kelak dia akan dihisab dengan hisab yang ringan.
Hisab yang ada di akhirat kelak itu ada dua model. Dalam suatu hadist Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ. قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: {فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا} [الانشقاق: 8] قَالَتْ: فَقَالَ: ” إِنَّمَا ذَلِكِ العَرْضُ، وَلَكِنْ: مَنْ نُوقِشَ الحِسَابَ يَهْلِكْ
“Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa”. ‘Aisyah bertanya,”Bukankah Allah telah berfirman ‘maka ia akan dihisab dengan hisab yang mudah?’” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hal itu adalah al-‘ardh (pemaparan). Namun barangsiapa yang diperinci dan detail saat dihisab, maka ia akan binasa”. (HR Bukhari no. 103 dan Muslim no. 276)
Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa kelak di hari kiamat ada pemaparan dan ada hisab. Pemaparan artinya Allah memaparkan seluruh amalan dia di hadapan Allah, berdua antara dia dengan Alah. Nabi Shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ، لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ، وَلاَ حِجَابٌ يَحْجُبُهُ
“Tidaklah ada seorangpun di antara kalian kecuali ia akan diajak bicara oleh Rabb-nya. Tidak ada antara keduanya penerjemah dan penghalang yang menghalanginya.” (HR Bukhari no 7443)
Disitu Allah akan menampakkan catatan amal. Dalam hadist yang lain Nabi Shalallahu ‘alayhi wa sallam pernah berdoa,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى بَعْضِ صَلاَتِهِ « اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا ». فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ مَا الْحِسَابُ الْيَسِيرُ قَالَ « أَنْ يَنْظُرَ فِى كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ إِنَّهُ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَئِذٍ يَا عَائِشَةُ هَلَكَ وَكُلُّ مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ تَشُوكُهُ »
Dari Aisyah, ia berkata, saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian shalatnya membaca, “Ya Allah hisablah aku dengan hisab yang mudah” Ketika beliau berpaling saya bekata, “Wahai Nabi Allah, apa yang dimaksud dengan hisab yang mudah?” Beliau bersabda, “Seseorang yang Allah melihat kitabnya lalu memaafkannya. Karena orang yang diperdebatkan hisabnya pada hari itu, pasti celaka wahai Aisyah. Dan setiap musibah yang menimpa orang beriman Allah akan menghapus (dosanya) karenanya, bahkan sampai duri yang menusuknya.” (HR. Ahmad 6/48)
Allah tidak menghisab kaum Mukminin secara detail, namun mencukupkan dengan al-‘aradh. Allah hanya memaparkan dan menjelaskan semua amalan tersebut di hadapan mereka. Demikian dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيَقُولُ الْأَشْهَادُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mendekati seorang mukmin, lalu meletakkan padanya sitar (الكَنَفُ asalnya berarti sayap burung yang digunakan untuk menutup dirinya dan telurnya –pent) dan menutupinya (dari pandangan orang lain), lalu (Allah) berseru: ‘Tahukah engkau dosa ini? Tahukah engkau dosa itu?’ Mukmin tersebut menjawab, ’Ya, wahai Rabb-ku,’ hingga bila selesai meyampaikan semua dosa-dosanya dan mukmin tersebut melihat dirinya telah binasa, Allah berfirman,’Aku telah rahasiakan (menutupi) dosa itu di dunia, dan Aku sekarang mengampunimu,’ lalu ia diberi kitab kebaikannya. Sedangkan orang kafir dan munafik, maka Allah berfirman: ‘Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka’. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim”. (HR Bukhari no. 2441 dan Muslim no. 2768)
Oleh karena itu, ini merupakan karunia dari Allah sekaligus hal yang sangat memalukan bagi seorang mukmin yang melakukan kemaksiatan. Tatkala tidak ada orang yang melihat dia kemudian dia menutup rapat-rapat semua pintu dan jendelanya lalu bermaksiat kepada Allah, maka maksiat ini akan diingatkan oleh Allah pada hari kiamat kelak meskipun dia sudah bertaubat. Meskipun Allah tidak mempermalukan dia di hadapan khalayak ramai tetapi di hadapan Allah sudah cukup mamalukan. Nabi Adam saja yang sudah diterima taubatnya oleh Allah akibat pelanggarannya telah memakan buah yang dilarang oleh Allah, beliau di hari kiamat kelak juga takut dengan dosa tersebut, sehingga ketika orang-orang datang kepada Nabi Adam, meminta agar Nabi Adam memberi syafaat di sisi Allah untuk mereka, Nabi Adam tidak mau karena telah melanggar perintah Allah. Padahal Nabi Adam telah bertaubat dan sudah diterima oleh Allah namun Nabi Adam masih khawatir dengan dosa tersebut.
Namun jika seseorang menjalani hisab di hadapan seluruh manusia, maka hal itu sendiri sudah merupakan siksaan. Sebagai permisalan, ketika kita di dunia ini melakukan perbuatan kriminal, lantas kita dipanggil oleh hakim kemudian disidang di hadapan orang-orang yang hadir maka yang seperti itu sudah merupakan siksaan tersendiri, merasa malu karena disaksikan oleh orang banyak.
Adapun yang dimaksud dengan hisab munaqosyah maka sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar:
وَالْمُرَادُ بِالْمُنَاقَشَةِ الِاسْتِقْصَاءُ فِي الْمُحَاسَبَةِ وَالْمُطَالَبَةُ بِالْجَلِيلِ وَالْحَقِيرِ وَتَرْكِ الْمُسَامَحَةِ
“Yang dimaksud dengan munaqosyah adalah detail dan rinci dalam pengauditan, dan penuntutan segala dosa baik yang besar maupun yang kecil, disertai tanpa pemaafan” (Fathul Baari 11/401)
Yang ini melazimkan ketersiksaan. Nabi bersabda مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ عُذِّبَ (Barang siapa yang disidang secara rinci tatkala hisab maka dia disiksa). Dia akan tersiksa dari dua sisi, (1) tatkala disidang, dan (2) tatkala masuk neraka setelah persidangan.
Kemudian Allah berfirman:
9. وَيَنقَلِبُ إِلَىٰ أَهْلِهِ مَسْرُورًا
“Dan dia akan kembali kepada keluaraganya (yang sama-sama beriman) dengan gembira”
Adapun orang mukmin maka dia akan dihisab dengan hisab yang ringan. Allah akan menampakkan dosa-dosanya yang pernah dia lakukan lalu dimaafkan oleh Allah. Dia pun bergembira karena menerima catatan amal dengan tangan kanannya. Kemudian dia kembali kepada istri-istrinya di surga dengan penuh kegembiraan, baik itu istri-istrinya yang menjadi istrinya di dunia yang masuk surga bersama dia, ataukah istri-istri dari bidadari yang Allah siapkan untuknya.
Kemudian Allah berfirman:
10. وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ
“Dan adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah belakang”
11. فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا
“maka dia akan berteriak, “Celakalah aku!””
12. وَيَصْلَىٰ سَعِيرًا
“Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”
Semakna dengan ayat tersebut Allah berfirman dalam ayat yang lain:
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ (25) وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ (26)
(25) Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku; (26) Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku.” (QS Al-Haqqah 25-26)
Ada dua ayat yang membicarakan hal yang sama namun konsekuensinya berbeda, yang satu mengatakan vahwa catatan amalnya dari belakang yang satu dari sebelah kiri. Sehingga terdapat khilaf diantara para ulama, apakah dua kondisi adalah dua hal yang berbeda atau tidak. Sebagian ulama semisal Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan bahwa kedua bentuk ini bisa digabungkan dalam satu model, artinya dia akan menerima catatan amalnya dari tangan kiri dari belakang, tangannya dibengkokkan kemudian menerimanya dari belakang.
Disebutkan pula oleh sebagian salaf bahwasanya tatkala dia diberikan catatan amalnya, dia ingin mengambilnya dengan tangan kanannya. Tetapi tangan kanannya terlepas sehingga dia diberikan kitab tersebut dengan tangan kirinya, dalam rangka untuk menghinakannya.
Ada pula yang mengatakan bahwasanya tangan kirinya dimasukan dalam dadanya sehingga menembus dadanya hingga belakang dan menerimanya dari belakangnya sebagai bentuk penghinaan Allah untuknya.
Kemudian tatkala dia menerima catatan amalnya dengan tangan kirinya maka dia pun akan berteriak, celakalah aku, celakalah aku. Karena dia tahu bahwa dia akan binasa. Dia akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam dan dipanggang di dalamnya.
Kemudian Allah berfirman:
13. إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا
“Sungguh, dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan keluarganya (yang sama-sama kafir)”
Para pelaku kemaksiatan di dunia ini juga merasakan kesenangan. Tetapi senang-senangnya mereka dengan kelezatan-kelezatan yang diharamkan oleh Allah. Sehingga apa yang mereka rasakan adalah sesuatu yang semu dan sementara, hati mereka hanya berisi dengan kesengsaraan. Di dunia ia tidak pernah memikirkan akan hari akhirat, hal ini berbeda dengan kaum mukiminin tatkala di dunia tetap ada kekawatiran untuk bertemu dengan akhirat sehingga mereka beramal dengan sebaik-baiknya. Allah berfirman tentang orang-orang beriman:
قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ(26) فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ (27)
“(26) Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami dahulu (ketika di dunia), sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diadzab); (27) Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka’.” (QS At-Thur : 26-27)
Karenanya Allah menegaskan sebab orang kafir hanya bersenang-senang saja menghabiskan kehidupan mereka seperti hewan, yaitu karena mereka lupa dengan hari pembalasan. Allah berfirman:
14. إِنَّهُ ظَنَّ أَن لَّن يَحُورَ
“Sesungguhnya dia mengira bahwa dia tidak akan kembali (kepada Tuhannya)”
15. بَلَىٰ إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيرًا
“Tidak demikian, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya”
Tidak demikian sebagaimana persangkaannya bahwa dia tidak akan dikembalikan, sesungguhnya Allah akan mengembalikannya untuk membalas perbuatannya karena Allah senantiasa mnegawasi dia. Seluruh amalan-amalan dia akan tercatat dan akan dikembalikan kepada Allah.
Setelah itu ita masuk pada paragraph yang baru yang menunjukan pembahasan selanjutnya, Allah berfirman:
16. فَلَا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ
“Maka Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja”
Asy-Syafaq adalah kesan merah yang nampak di cakrawala saat matahari terbenam. Adanya warna merah tersebut juga menjadi penanda bahwa waktu maghrib belum selesai, sehingga ketika sudah hilang maka waktu isya telah masuk. Sebagaimana dijelaskan dalam sebagian hadist-hadist yang shahih. Nabi Shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ
“Waktu shalat Maghrib adalah selama cahaya merah (saat matahari tenggelam) belum hilang.” (HR. Muslim no. 612)
Allah berfirman:
17. وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ
“Demi malam dan apa yang diselubunginya”
Para ulama menjelaskan bahwasanya malam mengumpulkan banyak perkara. Hewan-hewan yang tadinya keluar di siang hari, mereka akan kembali ke kandangnya pada malam hari. Manusia yang tadinya keluar di siang hari akan pulang ke rumahnya setelah tiba waktu malam.
Allah berfirman:
18. وَالْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ
“Demi bulan apabila jadi purnama”
Kemudian Allah berfirman:
19. لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَن طَبَقٍ
“Sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”
Ini menunjukkan bahwasanya manusia tidak bisa berbuat seenaknya. Kita tidak mungkin muda dan gagah selamanya, walaupun kita menginginkannya. Karena setiap manusia akan berjalan diatas tingkatan-tingkatan. Dari kecil hingga dewasa, dari muda hingga tua. Dari sehat kemudian sakit, dari hidup kemudian meninggal dunia. Dari hapalannya kuat kemudian pelupa lalu pikun, semuanya sudah diatur oleh Allah. Oleh karena itu, hendaklah kita terpedaya dengan dunia ini. Seakan-akan Allah mengatakan tahapan-tahapan itu mempunyai akhir yaitu hari kiamat. Dan perubahan-perubahan kondisi yang dikabarkan oleh Allah hendaknya mengingatkan manusia akan tahapan terakhir dari kehidupan ini yaitu hari kiamat yang abadi.2
Kemudian Allah berfirman:
20. فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Maka mengapa mereka tidak mau beriman?”
21. وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ ۩
“Dan apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka tidak (mau) bersujud”
Ayat ini merupakan ayat sajadah, barangsiapa yang membacanya maka disunnahkan baginya untuk sujud tilawah, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Apabila dia sedang di luar shalat maka dia langsung sujud. Apabila di dalam shalat maka dia bertakbir kemudian sujud lalu bangun kembali seraya bertakbir dan melanjutkan bacaan.
عَنْ أَبِى رَافِعٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ ( إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ ) فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِى الْقَاسِمِ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُ
Dari Abu Rafi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rafi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rafi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)
Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita gunakan seperti yang diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah, beliau menceritakan tentang tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi.” (HR. Muslim no. 772)
Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshahihannya. Bacaan tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari beberapa kali bacaan:
سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan An Nasai)
Kemudian Allah berfirman:
22. بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُكَذِّبُونَ
“bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya)”
23. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُوعُونَ
“Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam hati mereka)”
Dalam hati mereka ada pendustaan terhadap al-Qur’an dan Rasulullah (Tafsir At-Thobari 24/257)
24. فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Maka sampaikanlah kepada mereka (ancaman) azab yang pedih”
Al-Bisyarah dalam bahasa arab seringnya digunakan untuk kabar gembira. Dan Allah menggunakan ungkapan tersebut sebagai bentuk ejekan terhadap orang-orang musyrikin. Bahwasanya mereka akan menerima azab yang pedih di akhirat kelak.
Kemudian Allah berfirman:
25. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya”
Ini adalah ganjaran bagi orang-orang beriman di akhirat berupa kenikmatan yang tiada putus-putusnya.
Ibnu Katsir berkata:
فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ الْمِنَّةُ عَلَى أَهْلِ الْجَنَّةِ فِي كُلِّ حَالٍ وَآنٍ وَلَحْظَةٍ، وَإِنَّمَا دَخَلُوهَا بِفَضْلِهِ وَرَحْمَتِهِ لَا بِأَعْمَالِهِمْ فَلَهُ عَلَيْهِمُ الْمِنَّةُ دَائِمًا سَرْمَدًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ أَبَدًا، وَلِهَذَا يُلْهَمُونَ تَسْبِيحَهُ وَتَحْمِيدَهُ كَمَا يُلْهَمُونَ النَّفَسَ
‘’Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memberi karunia kepada penghuni surga setiap kondisi, setiap detik, dan setiap saat. Dan sesungguhnya mereka masuk surga karena karunia dan kasih saying Allah, bukan karena amal mereka. Maka Allah memberi karunia kepada mereka selalu dan selamanya, dan segala pujian adalah milik Allah semata selama-lamanya. Karenanya para penghuni surge selalu diilhamkan untuk bertasbih dan bertahmid (memujiNya) sebagaimana mereka bernafas’’ (Tafsir Ibnu Katsir 8/356)
Jika nikmat penghuni surga tiada henti-hentinya maka demikian pula sebaliknya hukuman Allah untuk orang-orang kafir, yaitu adzab yang tiada henti-hentinya dalam neraka jahannam.
فَذُوقُوا فَلَن نَّزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا
“Maka karena itu rasakanlah. Tidak ada yang akan Kami tambahkan kepadamu selain azab.” (QS An-Naba : 30)
Ayat ini merupakan ancaman yang sangat mengerikan bagi para penghuni neraka jahannam. Bahwasanya adzab yang mereka rasakan setiap hari terus bertambah. Azab-Nya tidak statis tetapi bertambah terus kerasnya. Sebaliknya di surga, kenikmatan-kenikmatan yang para penghuni surga rasakan akan terus bertambah dengan berbagai macam model kenikmatan.
Footnote:
1. Ini adalah salah satu dari dua pendapat di kalangan para ulama yaitu bahwa padang mahsyar adalah modifikasi dari bumi yang kita pijak sekarang, yang tadinya bulat dijadikan datar oleh Allah, setelah Allah mencabut gunung-gunung dan menghancurkannya. Dan ini juga didukung dengan firman Allah:
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
‘’pada hari itu bumi menceritakan beritanya’’ (QS Az-Zalzalah : 4)
Sebagian salaf menafsirkan ayat ini bahwa bumi akan mengabarkan tentang orang-orang yang pernah memijaknya baik orang-orang yang taat maupun para pelaku kemaksiatan (Lihat Tafsir At-Thobari 24/561)
Adapun pendapat kedua menyatakan bahwa bumi yang kita pijak ini akan hancur dan sirna. Padang mahsyar adalah benar-benar bumi yang baru dan bukan modifikasi dari bumi yang lama. Ibnu Mas’uud berkata:
أَرْضٌ بَيْضَاءُ كَأَنَّهَا فِضَّةٌ، لَمْ يُسْفَكْ فِيهَا دَمٌ حَرَامٌ، وَلَمْ يُعْمَلْ فِيهَا بِمَعْصِيَةٍ
‘’Bumi putih seperti perak, tidak pernah ditumpahkan di atasnya darah yang haram, dan tidak pernah dikerjakan di atasnya kemaksiatan’’ (Atsar riwayat At-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabiir no 10323 dan At-Thobari dalam tafsirnya 13/730, dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 11/375)
Atsar ini menunjukan bahwa padang mahsyar adalah bumi yang baru yang tidak pernah dilakukan kemaksiatan di atasnya sama sekali, berbeda dengan bumi yang lama.
2. Ini adalah salah satu pendapat para ulama tentang tafsir ayat ini. Ada pendapat-pendapat yang lain tentang tafsir ayat ini. Diantaranya
Ayat ini berkaitan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Allah berkata kepadanya, ‘’Wahai Muhammad engkau akan menjalani dan menaiki langit demi langit, derajat demi derajat’’
Ayat ini berkaitan dengan langit, sehingga maknanya, ‘’Sungguh-sungguh langit-langit akan menjalani kondisi demi kondisi, dari pembelahan, hingga dilepaskan dari atas, lalu dilipat oleh Allah
Engkau wahai manusia akan menjalani kondisi-kondisi hari kiamat dari satu tahapan kepada tahapan berikutnya. Dari padang mahsyar, hisaz, mizan, shirot hingga surga atau neraka.
Menurut Al-Imam Al-Qurthubi semua pendapat di atas benar dan memang dimaksudkan oleh Allah. (Lihat Tafsir al-Qurthubi 19/278)
Sumber: https://firanda.com/