Type Here to Get Search Results !

 


TAFSIR AL-KAFIRUN DAN AN-NASHR

 

Quran Surat Al-Kafirun Ayat-1

قُُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

Latin: qul yaa ayyuhaa alkaafiruuna

Arti: “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Hai orang-orang kafir’”

Tafsir Quran Surat Al-Kafirun Ayat-1

Surat Al-Kafirun adalah surat Makiyyah yang diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebelum berhijrah ke kota Madinah. Surat ini juga dikenal dengan nama surat qul ya ayyuhal kafirun. Selain itu, surat ini juga disebut sebagai surat Al-Ikhlas bersama surat Al-Ikhlas yang sudah diketahui oleh seluruh kaum muslimin yang diawali qul huwallahu ahad. Hal itu karena kedua surat ini menjelaskan tentang bara’ah minas syirk (berlepas diri dari kesyirikan).

Surat Al-Kafirun adalah surat yang menjelaskan tentang berlepas diri dari kesyirikan secara amalan. Sedangkan surat Al-Ikhlas adalah surat yang menjelaskan tentang berlepas diri dari kesyirikan, tetapi dari sisi ilmu yaitu bahwasanya Allah itu Maha Esa.

Kemudian diantara sunnah Nabi yaitu membaca surat Al-Kafirun sebelum tidur. Dan ini adalah sunnah yang sering ditinggalkan oleh manusia. Nabi bersabda:

اقْرَأْ عِنْدَ مَنَامِكَ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) ثُمَّ نَمْ عَلَى خَاتِمَتِهَا، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ

“Bacalah ketika akan tidur, ‘qul yaa ayyuhal kaafiruun,’ kemudian tidurlah setelah selesai menamatkannya, sesungguhnya ia pelepasan diri dari syirik.” (HR Ahmad, 5/456)

Nabi sering kali membaca kedua surat ini dalam shalatnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai hadits. Nabi bersabda:

نِعْمَتِ السُّوْرَتَانِ يَقْرَأُ بِهِمَا فِي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الفَجْرِ : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } وَ { قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُوْنَ }

“Sebaik-baik surat yang dibaca ketika dua raka’at qobliyah shubuh adalah Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) dan Qul yaa ayyuhal kaafirun (surat Al Kafirun).” (HR Ibnu Khuzaimah 4/273)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,

مَا أُحْصِى مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ بِ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ}

“Aku tidak dapat menghitung karena sangat sering aku mendengar bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat pada shalat dua raka’at ba’diyah maghrib dan pada shalat dua raka’at qobliyah shubuh yaitu Qul yaa ayyuhal kafirun (surat Al Kafirun) dan qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash).” (HR Tirmidzi no. 431)

Dalam shalat witirnya Nabi juga membaca Al-Kafirun dan Al-Ikhlas. Dari ‘Abdul Aziz bin Juraij, beliau berkata,  “Aku menanyakan pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (setelah membaca Al Fatihah) ketika shalat witir?”

‘Aisyah menjawab,

كَانَ يُوتِرُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ يَقْرَأُ فِى الأُولَى بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَفِى الثَّانِيَةِ بِ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَفِى الثَّالِثَةِ بِ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada raka’at pertama: Sabbihisma robbikal a’la (surat Al A’laa), pada raka’at kedua: Qul yaa ayyuhal kafiruun (surat Al Kafirun), dan pada raka’at ketiga: Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) dan mu’awwidzatain (surat Al Falaq dan An Naas).” (HR An-Nasai no. 1699, Tirmidzi no. 463, Ahmad 6/227)

Kemudian diantara sunnah Nabi yaitu membaca surat Al-Kafirun sebelum tidur. Dan ini adalah sunnah yang sering ditinggalkan oleh manusia. Nabi bersabda:

اقْرَأْ عِنْدَ مَنَامِكَ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) ثُمَّ نَمْ عَلَى خَاتِمَتِهَا، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ

“Bacalah ketika akan tidur, ‘qul yaa ayyuhal kaafiruun,’ kemudian tidurlah setelah selesai menamatkannya, sesungguhnya ia pelepasan diri dari syirik.” (HR Ahmad, 5/456)

Dari sini bisa disimpulkan bahwa Nabi sering membaca surat Al-Kafirun di awal hari dan di penghujung malam sebelum tidur. Ini menunjukkan bahwasanya surat Al-Kafirun adalah surat yang penting yang sering dibaca oleh Nabi karena isinya adalah bara’ah minas syirk yaitu pernyataan berlepas dirinya Nabi dari kesyirikan.

Para ahli tafsir menyebutkan tentang sebab turunnya surat ini. Orang-orang musyrikin senantiasa merayu Nabi agar menghentikan dakwahnya, dakwah yang mengajak kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan. Akhirnya mereka menempuh berbagai macam cara, mereka menawarkan kepada Nabi harta, tahta, dan jabatan. Tapi Nabi tidak tertarik dengan itu semua. Akhirnya ditawarkan kepadanya wanita tercantik, tetapi Nabi juga tidak tertarik dengan itu. Mereka terus memberikan penawaran kepada Nabi dan beliau terus menolak.

Akhirnya mereka memberikan penawaran yang lain, mereka mengajak Nabi menyembah Tuhan mereka selama setahun saja dan setelah itu giliran mereka menyembah Tuhannya Nabi selama satu tahun berikutnya. Allah memerintahkan kepada Nabi untuk menolak penawaran tersebut. Kemudian Allah menurunkan surat Al-Kafirun, sebagai bentuk tegas penolakan Nabi terhadap ajakan mereka.

Lihatlah bagaimana usaha yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin untuk mengehentikan dakwah tauhid, bahkan mereka rela bertauhid selama setahun. Andai saja Nabi menyembah tuhan-tuhan mereka walaupun sekejap mata niscaya Nabi telah terjerumus ke dalam kesyirikan sehingga rusaklah tauhidnya.

Oleh karena itu, Nabi tidak tawar-menawar dalam masalah ini. Dengan tegas Nabi menolaknya. Berbeda dalam kondisi-kondisi yang lain, terkadang Nabi menggunakan kata-kata yang lembut untuk mengambil hati mereka. Tetapi karena ini berkaitan tauhid dan syirik maka Nabi membantah dengan perkataan yang tegas dengan ayat-ayat pada surat ini.

Allah berfirman pada permulaan surat:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

1. “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Hai orang-orang kafir’”

لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

2. “Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah”

وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

3. “Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah”

وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ

4. “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah”

Nabi mengulangi dua pernyataan yang kurang lebih bermakna sama, yaitu ayat keempat dan ayat kedua. Namun para ulama berbeda pendapat tentang alasan pengulangan tersebut, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Al-Qurthubi. Sebagian ulama menyatakan bahwasanya ayat kedua yaitu لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ berkaitan dengan perkara yang telah lampau, sedangkan ayat keempat وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ berkaitan dengan masa depan. Sehingga Nabi ingin mengatakan kepada mereka secara tegas, “Aku tidak pernah menyembah apa yang kalian sembah dan aku tidak akan pernah menyembah apa yang kalian sembah.” Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Nabi mengulanginya dua kali karena tawaran tersebut juga datang berulang-ulang.

Imam Al-Qurthubi juga menyebutkan perbedaan pendapat tentang tafsiran مَا pada ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya. Pada tafsiran sebelumnya مَا pada ayat-ayat tersebut adalah مَا الْمَوْصُوْلَةُ sehingga makna ayat adalah, “Aku tidak pernah menyembah apa yang kalian sembah.” Sebagian yang lain berpandangan bahwa مَا pada ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya adalah مَا الْمَصْدَرِيَّةُ sehingga makna ayat adalah, “Aku tidak akan menyembah sebagaimana cara beribadah kalian” karena mereka beribadah dengan cara kesyirikan meskipun mereka mengaku menyembah Allah akan tetapi cara beribadah mereka salah. Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa mereka menyembah Allah dan juga menyembah selain Allah.

Kemudian Allah berfirman:

    وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

“Dan kalian tidak pernah pula menyembah Tuhan yang aku sembah”

Di akhir ayat Allah berfirman:

    لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku”

Ayat ini adalah dalil bahwasanya agama tauhid dan agama kesyirikan tidak mungkin bergabung dan tidak mungkin pula disamakan antara agama tauhid dengan agama kesyirikan. Sekaligus ini merupakan bantahan yang sangat tegas kepada orang-orang liberal atau penganut pluralisme yang menyatakan bahwasanya semua agama itu sama. Mereka memahami ayat ini secara terbalik, dianggap bahwa ayat ini menunjukan Islam mengakui kebenaran agama lain. Padahal seluruh ahli tafsir memahami bahwa ayat ini “Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku” adalah sebagai ancaman, bahwasanya mereka orang-orang kafir tidak akan beriman, dan bahwasanya jelas berbeda antara agama tauhid dengan agama kesyirikan. Bagaimana ayat ini bisa dianggap sebagai pembenaran terhadap agama lain sementara ayat ini dibuka dengan firmannya:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Hai orang-orang kafir’”

Penamaan mereka -kaum muysrikin Arab- dengan kafirun menunjukan bahwa ini bukanlah membenarkan mereka akan tetapi justru menghina mereka dengan menamakan mereka orang-orang kafir.

Agama yang diridhai oleh Allah hanyalah Islam. Allah berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَام

“Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah hanya Islam.” (QS Ali ‘Imran : 19)

Allah juga berfirman dalam ayat yang lain:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِين

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran : 85)

Hal itu karena satu-satunya agama yang menyeru kepada tauhid dan penyembahan kepada pencipta alam semesta ini hanyalah Islam. Selain Islam semuanya adalah agama kesyirikan baik itu Nasrani, Hindu, Budha, Yahudi, dan lain-lain semuanya menyeru agar menyembah makhluk. Oleh karena itu, orang-orang yang hendak menyamakan antara Islam dengan Nasrani atau Yahudi maka orang tersebut telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.

Seandainya semua agama benar maka untuk apa Nabi Muhammad diutus, untuk apa Nabi memerangi orang-orang Yahudi dan Nasrani, untuk apa Nabi mengirim para da’i untuk mendakwahi kaum Yahudi dan Nasrani. Dengan jelas Nabi bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang-pun dari umat ini yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka.” (HR Muslim no.153) 

Sumber: https://bekalislam.firanda.com/

Tafsir Surat An-Nashr

Surat An-Nashr adalah surat Madaniyyah yang diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam setelah berhijrah ke kota Madinah. Surat ini menjelaskan tentang kemenangan Nabi dalam Fathu Makkah. Yang kemudian Nabi setelah itu shalat delapan raka’at di waktu dhuha sebagai bentuk syukur kepada Allah.

Surat ini tidak turun ketika Fathu Makkah -yang terjadi pada tahun 8 Hijriyah- akan tetapi turun dua tahun setelahnya yaitu tatkala Nabi haji wadaa‘ pada tahun 10 hijriyah (lihat Fathul Baari 8/736)

Surat ini dikenal dengan nama lain yaitu surat At-Taudi’ yaitu surat perpisahan (Tafsir al-Qurthubi 20/229). Karena setelah surat ini turun menandakan bahwa Nabi tidak lama lagi akan datang ajalnya. Oleh karena itu, banyak ulama yang menyatakan bahwa surat yang terakhir turun secara lengkap adalah surat An-Nashr.

Memang ada ayat-ayat yang terakhir turun seperti ayat:

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS Al-Baqarah : 281)

Sebagian mengatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah : 3)

Kedua ayat ini adalah ayat-ayat yang terakhir turun, akan tetapi surat yang turun secara lengkap adalah surat An-Nashr. Oleh karena itu, nama lain dari surat An-Nashr adalah surat At-Taudi’ yaitu surat perpisahan, karena surat ini menunjukkan bahwasanya sebentar lagi Raslullah akan meninggal dunia.

Dalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

كَانَ عُمَرُ يُدْخِلُنِي مَعَ أَشْيَاخِ بَدْرٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لِمَ تُدْخِلُ هَذَا الفَتَى مَعَنَا وَلَنَا أَبْنَاءٌ مِثْلُهُ؟ فَقَالَ: «إِنَّهُ مِمَّنْ قَدْ عَلِمْتُمْ» قَالَ: فَدَعَاهُمْ ذَاتَ يَوْمٍ وَدَعَانِي مَعَهُمْ قَالَ: وَمَا رُئِيتُهُ دَعَانِي يَوْمَئِذٍ إِلَّا لِيُرِيَهُمْ مِنِّي، فَقَالَ: مَا تَقُولُونَ فِي إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالفَتْحُ، وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا حَتَّى خَتَمَ السُّورَةَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: أُمِرْنَا أَنْ نَحْمَدَ اللَّهَ وَنَسْتَغْفِرَهُ إِذَا نُصِرْنَا وَفُتِحَ عَلَيْنَا، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نَدْرِي، أَوْ لَمْ يَقُلْ بَعْضُهُمْ شَيْئًا، فَقَالَ لِي: يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، أَكَذَاكَ تَقُولُ؟ قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَمَا تَقُولُ؟ قُلْتُ: هُوَ أَجَلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَهُ اللَّهُ لَهُ: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالفَتْحُ فَتْحُ مَكَّةَ، فَذَاكَ عَلاَمَةُ أَجَلِكَ: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا. قَالَ عُمَرُ: «مَا أَعْلَمُ مِنْهَا إِلَّا مَا تَعْلَمُ»

“Umar Pernah mengajakku dalam sebuah majlis para sahabat senior (sesepuh) yang pernah ikut perang Badr, sehingga sebagian sahabat bertanya “Mengapa si anak kecil ini kau ikut sertakan, kami juga punya anak-anak kecil seperti dia?” Umar menjawab, “Seperti itulah yang kalian tahu.” Suatu hari Umar mengundang mereka dan mengajakku bersama mereka. Menurutku, Umar tidak mengajakku saat itu selain untuk memperlihatkan kepada mereka kualitas keilmuanku. Lantas Umar bertanya, “Bagaimana komentar kalian tentang ayat (yang artinya), “Seandainya pertolongan Allah dan kemenangan datang (1) dan kau lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong (2) –hingga ahkir surat. (QS. An Nashr: 1-3). Sebagian sahabat berkomentar (menafsirkan ayat tersebut), “Tentang ayat ini, setahu kami, kita diperintahkan agar memuji Allah dan meminta ampunan kepada-Nya, ketika kita diberi pertolongan dan diberi kemenangan.” Sebagian lagi berkomentar, “Kalau kami tidak tahu.” Atau bahkan tidak ada yang berkomentar sama sekali. Lantas Umar bertanya kepadaku, “Wahai Ibnu Abbas, beginikah kamu menafsirkan ayat tadi? “Tidak”, jawabku. “Lalu bagaimana tafsiranmu?”, tanya Umar. Ibnu Abbas menjawab, “Surat tersebut adalah pertanda wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dekat. Allah memberitahunya dengan ayatnya: “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan’, itu berarti penaklukan Makkah dan itulah tanda ajalmu (Muhammad), karenanya “Bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.” Kata Umar, “Aku tidak tahu penafsiran ayat tersebut selain seperti yang kamu (Ibnu Abbas) ketahui.”” (HR Bukhari no. 4294)

Ini merupakan pandangan tajam dari Ibnu Abbas dan juga Umar bin al-Khottob radhiyallahu ‘anhuma. Dan benar memang demikian, tidak lama setelah surat ini turun maka Nabi meninggal dunia. Ibnu ‘Abbas dan Umar memahami surat ini sebagai pertanda dekatnya ajal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena di akhir surat Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk beristighfar. Hal ini karena umur Nabi shallallahu ‘alaih wasallam adalah umur yang mulia, bahkan Allah telah bersumpah dengan umur beliau dalam firmanNya لَعَمْرُكَ “Demi ‘Umurmu” (QS 15 : 72), hal ini dikarenakan seluruh kehidupan dan waktu Nabi semuanya mulia. Dan telah diketahui bahwa perkara-perkara yang mulia dan amal shalih ditutup dengan istighfar.

Selesai sholat wajib disyari’atkan langsung untuk beristighfar sebanyak tiga kali. Demikian juga disyari’atkan bagi orang yang sholat tahajjud di malam hari hingga waktu sahur untuk beristighfar وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالأَسْحَارِ “Dan orang-orang yang beristighfar di waktu sahur” (QS 3: 17). Demikian juga setelah haji disyari’atkan untuk beristighfar. Allah berfirman:

ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (´Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Baqoroh : 199)

Demikian juga setelah bermajelis -meskipun majelis ketaatan- disyari’atkan untuk bertahmid, bertasbih, dan beristighfar. Sebagaimana juga setelah berwudhu disyari’atkan untuk berdoa اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ “Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci”.

Ini semua karena para hamba pasti kurang dalam menjalankan ketaatan kepada Allah sebagaimana yang seharusnya yang sesuai dengan keagungan Allah. Orang yang mengenal Allah ia pasti malu dengan amal yang ia lakukan  karena tidak akan sesuai dengan keagungan dan kemulian Allah yang Maha Agung. Ia beristighfar dari hal ini seperti orang-orang yang berdosa beristghfar dari dosa mereka. Karenanya manusia yang paling mengenal Allah -yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam- setelah berusaha untuk memuji dan menyanjung Allah ia berkata

لا أُحْصِى ثناءً عليكَ أنتَ كَمَا أَثنيتَ على نفسِكَ

“Aku tidak bisa meliputi seluruh pujian bagiMu, Engkau sebagaimana pujianMu terhadap diriMu sendiri” (Lihat Tafsir Ibnu Rojab al-Hanbali 2/649-650)

Maka tatkala Allah memerintahkan Nabi untuk beristighfar setelah dakwah beliau telah sempurna (lihat Tafsir al-Baidhoowi 5/344). Dan jika dakwah telah sempurna dan berhasil maka menunjukan bahwa umur beliau akan berakhir. (lihat Madaarijus Saalikin, Ibnul Qoyyim 3/402-403 dan Tafsir As-Sa’di hal 936

Allah berfirman pada permulaan surat:

    إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”

Yang dimaksud dengan “pertolongan” adalah pertolongan Allah kepada Nabi untuk menaklukan kaum Quraisy, atau dalam mengalahkan musuh-musuhnya secara umum. Adapun الْفَتْحُ “Kemenangan” mak aAl-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan bahwa seluruh ulama sepakat/ijma’ bahwa yang dimaksud dengan الْفَتْحُ pada ayat ini adalah Fathu Makkah.

Fathu Makkah adalah saat dimana Rasulullah menaklukkan kota Mekkah kembali setelah 8 tahun terusir dari kota Mekkah. Telah dimaklumi bahwa Nabi berdakwah di kota Mekkah selama 13 tahun. Siang dan malam beliau berdakwah akan tetapi orang-orang musyrikin Arab tidak mau menerima dakwah Nabi kecuali hanya sedikit. Akhirnya Nabi diusir dan mulai berhijrah meninggalkan kota Mekkah kampung halaman yang sangat dicintainya menuju kota Madinah.

Setelah terusir lama dari kota Mekkah. Delapan tahun kemudian, beliau akhirnya menaklukkannya dan kembali ke kota Mekkah, memasukinya dengan penuh rahmat dan karunia dari Allah. Penaklukan inilah yang disebut dengan Fathu Makkah.

Kemudian Allah berfirman:

    وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

“Dan engkau lihat manusia masuk dalam agama Allah dengan berbondong-bondong”

Disebutkan oleh para ahli tafsir bahwasanya banyak kabilah-kabilah Arab yang menanti kemenangan Nabi untuk mengalahkan orang-orang kafir Quraisy. Mereka mengatakan, “Kalau Muhammad berhasil mengalahkan kaumnya (orang-orang Quraisy) maka dia benar seorang Nabi.” Dan ternyata benar Nabi berhasil menaklukkan kota Mekkah, akhirnya setelah itu banyak kabilah-kabilah Arab yang masuk Islam dan membenarkan Muhammad sebagai seorang Nabi.

Kemudian Allah berfirman:

    فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”

Setelah Allah menjelaskan tentang nikmat dan karunia kemenangan yang Allah berikan kepada Nabi, maka Allah menyuruh Nabi untuk bertasbih dengan memuji Allah dan Allah juga menyuruh Nabi untuk beristighfar kepada Allah.

Allah menyuruh Nabi untuk menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan dan kesyirikan yang disertai dengan pengagungan dan pujian terhadap Allah. Dan yang menakjubkan adalah Allah juga menyuruh Nabi agar memohon ampun kepada Allah. Timbul pertanyaan, apakah Nabi berbuat kesalahan dalam dakwahnya selama 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah sehingga diperintahkan untuk beristighfar? Ini menunjukkan bahwasanya Nabi tetap mengakui bahwa bagaimanapun dia beribadah kepada Allah tetap tidak akan bisa menyamai keagungan Allah. Ini juga menunjukkan bahwa Nabi tidak ujub dan tidak bangga dengan apa yang telah dia lakukan.

23 tahun Nabi berdakwah semua yang dilakukannya adalah karena Allah, beliau diusir dan hendak dibunuh oleh kaumnya. Setelah itu dakwah beliau berhasil, tetapi beliau tidak pernah angkuh dan ujub. Karenanya di akhir hayat beliau, beliau juga banyak beristighfar kepada Allah. Beliau mengakui bahwasanya apapun yang beliau lakukan pasti ada kekurangannya. Oleh karena itu, setiap selesai shalat maka dzikir yang pertama diucapkan oleh seorang hamba adalah beristighfar sebanyak tiga kali karena seorang hamba sadar bagaimanapun dia melaksanakan shalat pasti tidak akan sempurna. Sehingga kekurangan-kekurang tersebut ditutup dengan istighfar kepada Allah.

Kalau Nabi saja yang dakwahnya selama 23 tahun yang murni seluruhnya karena Allah tetap diperintahkan untuk beristighfar, lantas bagaimana dengan para da’i yang terkadang dakwahnya belum tentu ikhlas dan belum tentu benar? Andai pun dakwahnya benar dan ikhlas maka dia tetap harus beristighfar kepada Allah.

Oleh karena itu, ketika beliau masuk ke kota Mekkah untuk menaklukkannya, disebutkan bahwasanya beliau masuk dengan mengendarai kendaraannya dalam keadaan tawadhu dan kerendahan, karena beliau tahu bahwasanya seluruh keberhasilannya adalah karena Allah semata.

Setelah surat ini turun, Rasulullah banyak mambaca tasbih dan istighfar dalam ruku’ dan sujudnya. Aisyah berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِى رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ «سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى». يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaih wasalam sering kali membaca dalam ruku’ dan sujudnya doa سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى “Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku”, beliau mengamalkan al-Qur’an” (HR Al-Bukhari no 817 dan Muslim no 484)

Dalam riwayat yang lain Aisyah berkata:

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ نَزَلَ عَلَيْهِ {إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ} يُصَلِّي صَلَاةً إِلَّا دَعَا. أَوْ قَالَ فِيهَا: «سُبْحَانَكَ رَبِّي وَبِحَمْدِكَ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِي»

“Aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah turun firman Allah “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan” ketika sholat kecuali berdoa dalam sholat tersebut سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى “Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku” (HR Muslim no 484)

Sumber: https://bekalislam.firanda.com/